Cari Blog Ini

Selasa, 26 September 2017

Teks Ulasan Film Bidadari-Bidadari Surga



Sabar dan Iklas Ala “Bidadari-Bidadari Surga”

Ikanuri dan Wibisana tersesat dalam hutan saat hari sudah malam. Keduanya ketakutan luar biasa ketika di hadapan mereka berdiri harimau Gunung Kendeng hanya sejarak satu terkaman. Laisa dan Dali datang tepat pada waktunya. Menggenggam obor di tangan kiri dan parang di tangan kanan, Laisa langsung mengambil tempat paling depan, menjadi tameng hidup bagi adik-adiknya.
Mata Laisa menatap mata harimau. Keduanya seperti tengah berkomunikasi. Tak lama, harimau itu mengendur, mundur beberapa langkah, lalu balik badan kembali ke dalam hutan. Laisa (Nirina Zubir) adalah sulung lima bersaudara. Empat adiknya adalah Dalimunte (Rizky Julio dan Nino Fernandez), Ikanuri (Michael Adam dan Adam Zidni), Wibisana (Saddam Basalamah dan Frans Nicholas), serta Yashinta (Chantiq Schagerl dan Nadine Chandrawinata).
Dalam Film Bidadari-bidadari Surga mereka berlima dan Mamak Lainuri (Henidar Amroe) yang seorang janda, hidup di rumah kayu di tengah ladang Lembah Lahambay. Setiap hari mereka bekerja keras menyadap karet, mengambil kayu, dan menganyam topi pesanan. Laisa tidak bersekolah karena Mamak dulu tak sanggup menyekolahkannya.
Laisa sangat keras kepada adika-diknya agar rajin sekolah. Dia ikut mengantarkan mereka ke tepi jalan kampung hingga mendapatkan mobil tumpangan ke sekolah. Sebaliknya, dia tak segan-segan menghukum jika salah satunya bolos.
Penampilan fisik Laisa berbeda dibanding adik-adiknya. Adik-adiknya berkulit terang, berbadan langsing, berwajah tirus, dan berhidung mancung. Sementara, Laisa pendek kekar, agak bungkuk, berjalan timpang, pesek, berambut keriting kusut, dan berkulit gelap. Kalau lima bersaudara sedang jalan bersama, penampakan Laisa kerap jadi gunjingan orang kampung. Satu persamaan dari keluarga ini adalah sama-sama pekerja keras dan ingin hidup sukses. Laisa adalah kakak yang paling berjasa dikeluarga tersebut. 
Tidak hanya Laisa yang berbeda, keseluruhan film ini juga berbeda. Sebab sutradara menggunakan 10 menit animasi buatan tim Animasi Baros sebagai pembuka. Animasi ini menjadi appetizer yang pas bagi pentonton, lantaran setelahnya satu-persatu penonton akan disuguhkan adegan penuh haru. Bahkan Nirina Zubir yang berperan ‘khusus’ sebagai Laisa tidak berhenti meneteskan air mata.
Di tengah-tegah kehidup sehari-hari yang keras, Laisa mendapat inspirasi baru dari hadirnya mahasiswa KKN ke kampung mereka. Dia ingin menanam strawberry karena harga jualnya mahal di kota. Penanaman pertama gagal, namun setelah evaluasi serta perbaikan di sana-sini, strawberry Laisa berhasil tumbuh subur dan berbuah besar-besar juga manis. Laisa pun menyulap ladang mereka jadi kebun strawberry dan            menamakannya Rose Berry Farm.     
Hari berganti, satu per satu anak-anak beranjak dewasa. Satu per satu pula adiknya bertemu dengan pasangan yang cocok. Meski awalnya berat memutuskan untuk menikah karena harus melangkahi Laisa, yang artinya menyakiti hati kakak tercintanya, namun justru Laisa-lah yang jadi pendorong agar mereka menikah.
Sementara Laisa sendiri belum mendapatkan jodoh. Salah satu kebiasaan masyarakat Indonesia yaitu selalu rusuh bertanya tentang pernikahan. Hal ini juga dilakukan oleh ibu ibu di kampong Laisa yang selalu bertanya kapan laisa menikah, Laisa sadar diri , dengan kondisi fisiknya yang tidak sempurna akan membuat dia sulit untuk menemukan cinta sejatinya sementara di zaman ini kecantikan fisik adalah segalanya.
Berkali-kali Dali memperkenalkan Laisa dengan laki-laki yang serius, tak juga membuahkan hasil. Mereka langsung pamit mundur begitu melihat wajahnya. Ustad Safri (Billy Boedjanger) yang seorang duda, yang isi ceramahnya “Tidak penting wajah cantik, yang penting kaya hati,” bahkan refleks berucap “Astaghfirullah!” begitu Laisa menoleh.
Hingga suatu ketika Laisa diperkenalkan dengan kawan Dali, Dharma (Rizky Hanggono) yang sedang mencari istri. Dharma sudah beristri, Andini (Astri Nurdin), tapi istrinya divonis dokter tidak bisa punya keturunan. Andinilah yang mendesak Dharma agar mencari istri muda agar dikaruniai anak kandung.
Film Bidadari-bidadari Surga diangkat dari novel berjudul sama (terbit 2008) karya Tere-Liye. Nirina Zubir berakting total sebagai Laisa. Kita bisa menangkap semangatnya serta kasih sayang kepada adik-adiknya. Dipilihnya Nirina sebagai Laisa adalah tindakan tepat. Nirina yang sableng hilang sama sekali di sini.
Dia juga didandani habis-habisan sampai-sampai sulit dikenali. Dengan wajah dihitamkan, gigi depan hitam, baju yang out-of date, dan wig keriting mana tahan, Laisa tampil benar-benar utuh, tanpa ada rasa Nirina. Apalagi inilah penampilan Nirina yang paling gemuk, sesuai tuntutan skenario.
Namun, penggambaran latar dalam film ini kurang jelas. Yang dimaksud Gunung Kendeng sebagai latar tempat dalam film tersebut, entah Gunung Kendeng di Jawa Tengah bagian utara atau yang di Lebak, Banten, tidak jelas.Sementara, dalam salah satu adegan, latar belakang musiknya saluang yang khas Sumatera Barat. Mamak Lainuri juga berbaju kurung. Dan penyebutan “mamak” untuk memanggil seorang ibu merupakan khas Sumatera Utara. Begitupun dengan logat Mamak Lainuri dan Laisa memang sedikit beraroma Sumatera.
Jika diteliti, detail Film Bidadari-bidadari Surga ini juga kurang cermat. Misalnya lampu teplok menyala di dalam rumah tapi di sekelilingnya terang seperti diterangi lampu pijar. Ini jadi kecerobohan khas yang terus berulang di film-film Indonesia. Contoh lain, jika dikira-kira, Laisa dan saudara-saudaranya mengalami masa kecil pada era 1970-an. Tapi Ikanuri dan Wibisana pergi mencuri mangga membawa tas keresek. Padahal di masa itu, keresek belum umum digunakan. Apalagi di pedalaman.
Mamak Lainuri pun terlalu modis sebagai janda miskin dengan kehidupan keras di tengah ladang. Tampilan Siapa sebenarnya Laisa juga tidak dijelaskan di film Film Bidadari-bidadari Surga. Dia dibiarkan hanya merana sepanjang hidup. Pasalnya di bagian awal Film Bidadari-bidadari Surga, ketika Laisa hendak menghukum bocah Ikanuri dan Wibisana yang mencuri mangga di kebun orang lain, Ikanuri mengelak. “Kau tak berhak menghukum kami! Kau bukan kakak kami. Kami putih, kau hitam, rambutmu gimbal. Kau bukan kakak kami!” Ucapan ini sangat melukai Laisa.Dia terdiam mendadak dan air matanya turun deras. Tidak ada cerita Film Bidadari-bidadari Surga dari orang dewasa (misalnya dari Mamak Lainuri) yang menguatkan posisi Laisa di keluarga, mengapa dia seperti datang dari planet lain jika dibandingkan dengan adik-adiknya. 
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa cerita ini sederhana tetapi sangat mengandung makna. Banyak pula pesan yang dapat kita tarik dalam cerita ini. Seperti pentingnya sebuah keluarga, sikap Laisa  yang selalu mencintai adik-adiknya, rela berkorban, dan seorang kakak yang demi adik-adiknya berjuang hingga titik darah penghabisan.