Sabar dan Iklas Ala “Bidadari-Bidadari Surga”
Ikanuri
dan Wibisana tersesat dalam hutan saat hari sudah malam. Keduanya ketakutan
luar biasa ketika di hadapan mereka berdiri harimau Gunung Kendeng hanya
sejarak satu terkaman. Laisa dan Dali datang tepat pada waktunya. Menggenggam
obor di tangan kiri dan parang di tangan kanan, Laisa langsung mengambil tempat
paling depan, menjadi tameng hidup bagi adik-adiknya.
Mata Laisa menatap mata harimau. Keduanya
seperti tengah berkomunikasi. Tak lama, harimau itu mengendur, mundur beberapa
langkah, lalu balik badan kembali ke dalam hutan. Laisa (Nirina Zubir) adalah
sulung lima bersaudara. Empat adiknya adalah Dalimunte (Rizky Julio dan Nino
Fernandez), Ikanuri (Michael Adam dan Adam Zidni), Wibisana (Saddam Basalamah
dan Frans Nicholas), serta Yashinta (Chantiq Schagerl dan Nadine
Chandrawinata).
Dalam Film Bidadari-bidadari
Surga mereka
berlima dan Mamak Lainuri (Henidar Amroe) yang seorang janda, hidup di rumah
kayu di tengah ladang Lembah Lahambay. Setiap hari mereka bekerja keras
menyadap karet, mengambil kayu, dan menganyam topi pesanan. Laisa tidak
bersekolah karena Mamak dulu tak sanggup menyekolahkannya.
Laisa sangat keras kepada adika-diknya agar rajin sekolah. Dia
ikut mengantarkan mereka ke tepi jalan kampung hingga mendapatkan mobil
tumpangan ke sekolah. Sebaliknya, dia tak segan-segan menghukum jika salah
satunya bolos.
Penampilan fisik Laisa berbeda dibanding
adik-adiknya. Adik-adiknya berkulit terang, berbadan langsing, berwajah tirus,
dan berhidung mancung. Sementara, Laisa pendek kekar, agak bungkuk, berjalan
timpang, pesek, berambut keriting kusut, dan berkulit gelap. Kalau lima
bersaudara sedang jalan bersama, penampakan Laisa kerap jadi gunjingan orang
kampung. Satu persamaan dari keluarga
ini adalah sama-sama pekerja keras dan ingin hidup sukses. Laisa adalah kakak
yang paling berjasa dikeluarga tersebut.
Tidak hanya
Laisa yang berbeda, keseluruhan film ini juga berbeda. Sebab sutradara
menggunakan 10 menit animasi buatan tim Animasi Baros sebagai pembuka. Animasi
ini menjadi appetizer yang pas bagi pentonton, lantaran
setelahnya satu-persatu penonton akan disuguhkan adegan penuh haru. Bahkan
Nirina Zubir yang berperan ‘khusus’ sebagai Laisa tidak berhenti meneteskan air
mata.
Di tengah-tegah kehidup sehari-hari yang keras, Laisa
mendapat inspirasi baru dari hadirnya mahasiswa KKN ke kampung mereka. Dia
ingin menanam strawberry karena harga jualnya mahal di kota. Penanaman pertama
gagal, namun setelah evaluasi serta perbaikan di sana-sini, strawberry Laisa
berhasil tumbuh subur dan berbuah besar-besar juga manis. Laisa pun menyulap
ladang mereka jadi kebun strawberry
dan menamakannya Rose Berry Farm.
Hari berganti, satu per satu anak-anak
beranjak dewasa. Satu per satu pula adiknya bertemu dengan pasangan yang cocok.
Meski awalnya berat memutuskan untuk menikah karena harus melangkahi Laisa,
yang artinya menyakiti hati kakak tercintanya, namun justru Laisa-lah yang jadi
pendorong agar mereka menikah.
Sementara
Laisa sendiri belum mendapatkan
jodoh. Salah satu kebiasaan masyarakat Indonesia yaitu selalu rusuh bertanya tentang pernikahan. Hal ini juga dilakukan
oleh ibu ibu di kampong Laisa yang selalu bertanya kapan
laisa menikah, Laisa sadar diri , dengan kondisi fisiknya yang tidak sempurna
akan membuat dia sulit untuk menemukan cinta sejatinya sementara di zaman ini kecantikan fisik adalah segalanya.
Berkali-kali Dali memperkenalkan Laisa dengan laki-laki yang serius, tak juga
membuahkan hasil. Mereka langsung pamit mundur begitu melihat wajahnya. Ustad
Safri (Billy Boedjanger) yang seorang duda, yang isi ceramahnya “Tidak penting
wajah cantik, yang penting kaya hati,” bahkan refleks berucap “Astaghfirullah!” begitu Laisa menoleh.
Hingga suatu ketika Laisa diperkenalkan dengan kawan Dali, Dharma (Rizky
Hanggono) yang sedang mencari istri. Dharma sudah beristri, Andini (Astri
Nurdin), tapi istrinya divonis dokter tidak bisa punya keturunan. Andinilah
yang mendesak Dharma agar mencari istri muda agar dikaruniai anak kandung.
Film Bidadari-bidadari Surga diangkat dari
novel berjudul sama (terbit 2008) karya Tere-Liye. Nirina Zubir berakting total
sebagai Laisa. Kita bisa menangkap semangatnya serta kasih sayang kepada
adik-adiknya. Dipilihnya Nirina sebagai Laisa adalah tindakan tepat. Nirina
yang sableng hilang sama sekali di sini.
Dia
juga didandani habis-habisan sampai-sampai sulit dikenali. Dengan wajah
dihitamkan, gigi depan hitam, baju yang out-of
date, dan wig keriting mana
tahan, Laisa tampil benar-benar utuh, tanpa ada rasa Nirina. Apalagi inilah
penampilan Nirina yang paling gemuk, sesuai tuntutan skenario.
Namun, penggambaran latar dalam film ini kurang jelas. Yang dimaksud Gunung Kendeng sebagai latar tempat dalam film
tersebut, entah Gunung Kendeng di Jawa Tengah bagian utara atau yang
di Lebak, Banten, tidak jelas.Sementara, dalam salah satu adegan,
latar belakang musiknya saluang yang khas Sumatera Barat. Mamak Lainuri juga
berbaju kurung. Dan penyebutan “mamak” untuk memanggil seorang ibu merupakan khas Sumatera Utara. Begitupun dengan logat Mamak Lainuri
dan Laisa memang sedikit beraroma Sumatera.
Jika diteliti, detail Film
Bidadari-bidadari Surga ini
juga kurang cermat. Misalnya lampu teplok menyala di dalam rumah tapi di
sekelilingnya terang seperti diterangi lampu pijar. Ini jadi kecerobohan khas
yang terus berulang di film-film Indonesia.
Contoh lain, jika dikira-kira, Laisa dan saudara-saudaranya mengalami masa kecil pada era 1970-an. Tapi Ikanuri dan
Wibisana pergi mencuri mangga membawa tas keresek. Padahal di masa itu, keresek
belum umum digunakan. Apalagi di pedalaman.
Mamak Lainuri pun terlalu modis sebagai
janda miskin dengan kehidupan keras di tengah ladang. Tampilan Siapa sebenarnya
Laisa juga tidak dijelaskan di film Film Bidadari-bidadari Surga. Dia dibiarkan hanya merana sepanjang hidup.
Pasalnya di bagian awal Film Bidadari-bidadari Surga, ketika Laisa hendak
menghukum bocah Ikanuri dan Wibisana yang mencuri mangga di kebun orang lain,
Ikanuri mengelak. “Kau tak berhak menghukum kami! Kau bukan kakak kami. Kami
putih, kau hitam, rambutmu gimbal. Kau bukan kakak kami!” Ucapan ini sangat
melukai Laisa.Dia terdiam mendadak dan air
matanya turun deras. Tidak ada cerita Film
Bidadari-bidadari Surga
dari orang dewasa (misalnya dari Mamak Lainuri) yang menguatkan posisi Laisa di
keluarga, mengapa dia seperti datang dari planet lain jika dibandingkan dengan
adik-adiknya.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan
bahwa cerita ini sederhana tetapi sangat mengandung
makna. Banyak pula
pesan yang dapat kita tarik dalam cerita ini. Seperti pentingnya sebuah
keluarga, sikap Laisa yang selalu mencintai adik-adiknya, rela berkorban, dan seorang kakak yang demi adik-adiknya berjuang hingga titik
darah penghabisan.