ULASAN NOVEL
Judul :
Bidadari-Bidadari Surga
Pengarang : Tere
Liye
Tempat terbit :
Jakarta
Penerbit :
Republika
Tahun terbit : 2008
Jumlah halaman : 368
Tema : kehidupan keluarga yang penuh dengan kerja
keras, pengorbanan, dan penghormatan.
Sudut Pandang : orang ke-3
Tokoh dan penokohan :
1. Kak Laisa
Anak sulung dari Mamak
Lainuri. Kak Laisa memiliki rambut yang gimbal, kulit hitam, serta berbadan
pendek dan gemuk. Sementara adik-adiknya cantik dan tampan-tampan, tinggi,
putih, dan memiliki rambut yang lurus.
Watak :
a. Keras dan kejam
Watak ini dapat diketahui dari sikap Kak Lais ketika
mengetahui Dalimunte membolos sekolah, kemudian ia memukul Dalimunte
menggunakan ranting pohon.
b. Tidak terbuka
Hal ini dapat diketahui dari sikap kak Laisa yang
menyembunyikan sakitnya dari adik-adiknya.
c. Rela berkorban
Hal ini dapat diketahui dari sikap Kak Laisa yang
memilih berhenti sekolah untuk membantu Mamak lainuri mencari uang agar
adik-adiknya bisa melanjutkan sekolah.
d. Penyayang
Dibuktikan dari sikap Laisa yang selalu menginginkan
kebahagiaan adik-adiknya.
e. Suka Membantu orang tua
Watak ini dapat diketahui dari penjelasan penulis
bahwa Laisa selalu bangun pagi untuk membantu Mamak Lainuri memasak, kemudian
membantu di ladang, dan menganyam.
2. Dalimunte
Dalimunte merupakan anak
kedua Mamak Lainuri. Seorang profesor fisika yang namanya sudah terkenal.
Watak :
a. Rajin dan pekerja keras
Dapat dilihat dari cara Dalimunte yang terus menerus mengerjakan proyek kincir airnya
sampai berhasil.
b. Pemberani
Hal ini dapat diketahui dari peristiwa ketika
Dalimunte berani menyampaikan usul untuk membuat kincir air di pertemuan rutin
warga Lembah Lahambay, padahal ia masih kecil.
c. Baik hati
Dapat diketahui dari reaksi Dalimunte ketika ia
mengetahui Yashinta tiba-tiba sakit ketika di perjalanan ke sekolah, kemudian
ia menggendongnya untuk diantar pulang.
d. Penurut
Hal ini dapat diketahui dari sikap Dalimunte yang
tidak pernah menolak perintah Kak Laisa.
e. Peka terhadap lingkungan
Diketahui dari reaksinya yang mengetahui
ladang-ladang di desanya hanya mengandalkan hujan, ia kemudian membuat kincir
air.
3. Ikanuri
Merupakan anak ketiga Mamak
Lainuri.
Watak :
a. Nakal
Hal ini dapat dibuktikan ketika Ikanuri dan Wibisana
mencuri mangga dan kebiasaan mereka yang sering membolos sekolah.
b. Sayang kepada adiknya
Hal ini dapat diketahui dari peristiwa ketika
ikanuri membelikan adiknya Yashintha kado.
c. Tidak jera
Hal ini dapat diketahui dari sikap Ikanuri yang
masih sering membolos sekolah meski telah dimarahin beekali-kali oleh Kak Laisa
maupun Mamak Lainuri.
d. Tidak penurut
Dibuktikan dari sikap Ikanuri yang tidak pernah
menuruti perintah Kak Laisa ketika masih kecil.
4. Wibisana
Anak keempat Mamak Lainuri
yang memiliki wajah yang mirip dengan Ikanuri, tetapi bukan kembaran Ikanuri.
Mereka lahir di tahun yang sama, hanya terpisah sebelas bulan. Wibisana
memiliki watak yang sama persis dengan Ikanuri, karena di novel tersebut apapun
yang dilakukan Ikanuri pasti juga dilakukan Wibisana.
5. Yashinta
Anak terakhir Mamak Lainuri
yang suka dengan hewan dan berpetualang. Memiliki watak yang keras kepala yang
dijelaskan penulis ketika Yashinta berkali-kali menolak perintah Kak Laisa
untuk menikah dengan Goghsky. Dan memiliki watak cuek yang dibuktikan ketika
Yashinta menjawab dengan jawaban yang singkat-singkat, pertanyaan Goghsky.
6. Mamak Lainuri
a. Baik hati
Dibuktikan dari kerelaan Mamak Lainuri untuk merawat
Laisa, meskipun bukan anak kandungnya.
b. Pekerja keras
Dipaparkan oleh penulis bahwa Mamak Lainuri bekerja
keras setelah ditinggalkan oleh suaminya untuk membiyayai kehidupan
anak-anaknya.
Latar
1. Latar tempat
a. Lembah Lahambay : ketika menceritakan mereka di masa
kecil kecil
b. Jakarta : ketika menceritakan seminar Dalimunte
c. Italia : ketika menceritakan perjalanan bisnis Ikanuri dan
Wibisana
d. Gunung Semer : ketika menceritakan
Yashinta yang sedang melakukan pengamatan.
e. Hutan di kaki Gunung Kendel
: ketika menceritakan peristiwa meninggalnya ayah tiri Laisa dan ketika
menceritakan Wibisana, Ikanuri, dan Laisa dihadang oleh harimau.
2. Latar Suasana
a. Mengharukan
Ketika Kak Laisa rela hujan-hujan sampai mata
kakinya bergeser akibat terbentur, demi memanggil mahasiswa KKN agar mengobati
adiknya, Yashinta yang sedang sakit.
b. Mencekam
Ketika Kak Laisa dikelilingi oleh harimau untuk
menyelamatkan Ikanuri dan Wibisana.
c. Menyedihkan
Ketika Ikanuri mengejek fisik Kak Laisa.
d. Bahagia
Ketika diceritakan bahwa adik-adik Kak Laisa
berhasil menjadi orang-orang sukses berkat kerja keras dan pengorbanan Kak
Laisa.
3. Latar Waktu : -
Majas :
a. Hiperbola
Bicara soal kecepatan dan
manuver terbang, sumpah tidak ada yang mengalahkan perigrene, inilah sang
penguasa kawah gunung. Bukan elang.bukan garuda. Bukan pula rajawali. Tapi
ala-alap.
b. Personifikasi
Suara nyanyian puluhan
burung memenuhi langit-langit hutan
c. Sinekdoke
Nanti lepas dzuhur kalau
tidak kelihatan juga ekornya, kau cari mereka.
d. Metafora
Lima menit berlalu, burung besi berukuran jumbo itu
mendarat dengan mulusdi landasan
Amanat :
a. Antar anggota keluarga kita
harus tolong menolong demi kebaikan bersama.
b. Kita harus bekerja keras
untuk meraih apa yang kita inginkan, dan tidak putus asa ketika kita gagal
tetapi terus semangat untuk berjuang lagi.
c. Sebaiknya kita menjadi orang
yang bermanfaat bagi lingkungan dan masyarakat.
Alur/Plot : campuran (maju mundur maju)
Novel ini menceritakan
seorang Ibu yaitu Mamak Lainuri yang putih dan cantik, sabar penuh kasih sayang
dan lemah lembut. Mamak Lainuri menikah
dengan ayah kandung dari Laisa yang notabenenya adalah seorang duda
beranak satu (Laisa). Ayah Laisa adalah
seorang pemabuk dan kurang bertanggung jawab, hingga pada suatu hari Ia
meninggal dunia akibat minuman keras dan meninggalkan bayinya yang bernama
Laisa pada mamak Lainuri. Bayi itu ditinggal dengan keadaan direndam di baskom
sehingga membuat tubuhnya berwarna biru lebam. Akhirnya bayi itu diasuh dan
dibesarkan oleh mamak Lainuri.
Kemudian Mamak Lainuri
menikah lagi. Dari pernikahan keduanya
Mamak Lainuri dikaruniai empat orang anak, anak pertamanya adalah Dalimunte, ke
dua Ikanuri, ke tiga Wibisana, dan terakhir Yashinta.
Mamak Lainuri dan
suaminya sangat baik dan menganggap Laisa seperti anak kandungnya sendiri.
Suami Mamak Lainuri bekerja sebagai petani dan sering berpergian ke hutan untuk
mencari kayu bakar atau berburu. Suatu hari Suami Mamak Lainuri pergi ke hutan
dan sebelum pergi ia berpamitan kepada Laisa bahwa Laisa harus menjaga mamaknya
dan ke empat adiknya saat ayahnya (ayah tirinya) pergi ke hutan, Laisa pun
mengiyakan. Beberapa waktu kemudian akhirnya Laisa mendengar kabar bahwa Ayah
tirinya itu meninggal dunia akibat diterkam harimau di hutan. Saat itu usia
Laisa masih belasan tahun dan Dalimunte masih berumur tujuh tahun, Ikanuri berumur empat tahun,
Wibisana berumur 3 tahun, dan Yashinta masih dalam kandungan. Karena ditinggal
oleh suaminya, Mamak Lainuri harus berjuang sendirian untuk membesarkan
anak-anaknya.
Karena Laisa dititipi
pesan untuk menjaga adik-adiknya dan membuat keempat adiknya agar dapat
mencapai kesuksesan masa depan sebelum ayahnya pergi. Laisa yang penuh kerja keras dan pantang menyerah
bertekad untuk menjalankan amanah bapaknya tersebut dengan mendidik
adik-adiknya. Apapun pasti dikorbankan untuk keempat adiknya. Bahkan ketika
Mamak lainuri kekurangan biaya untuk menyekolahkan keempat anaknya, Laisa
bahkan memutuskan untuk berhenti sekolah dan membantu Mamak Lainuri untuk
berkebun agar adik-adiknya tetap bisa sekolah.
Suatu hari,
ketika Dalimunte berusia 12 tahun, ia pernah membolos sekolah untuk merakit
kincir air hasil pemikirannya di sungai, sayangnya tiba-tiba Kak Laisa datang.
Mengetahui Dalimunte membolos sekolah, Kak Laisa marah dan kemudian memukul
Dalimunte menggunakan ranting pohon. Di pertemuan rutin warga Lembah Lahambay
di Hari Ahad yang dipimpin oleh Wak Burhan, Dalimunte mengusulkan tentang
pembuatan kincir air untuk irigasi sawah. Awalnya warga tidak setuju karena
mereka pernah membuat kincir air berukuran besar yang pada akhirnya sia-sia.
Setelah Kak Laisa ikut berbicara,menjelaskan bahwa kincir air, hasil pemikiran
Dalimunte berbeda dengan kincir air yang pernah dibuat dulu, semua warga yang
hadir menjadi setuju.
Hari ahad
berikutnya semua warga kampung berkumpul di sungai untuk membuat kincir air.
Tetapi dari pagi hingga siang Ikanuri da Wibisana tak terlihat sama sekali.
Setelah dicari Kak Laisa ternyata mereka berdua sedang mencuri mangga Wak
Burhan. Mengetahui hal itu, Kak Laisa memarahi dan memukul mereka. Sebal karena
selalu diatur dan dimarahi, Ikanuri melawan dengan menghina fisik Kak Laisa dan
mengatakan bahwa kak Laisa bukan Kakak mereka. Peristiwa tersebut hampir
membuat Laisa menangis. Namun karena ketegarannya Laisa tetap sabar dan
memendam rasa sakit tersebut meskipun sebenarnya ia ingin menangis. Setelah itu
Ikanuri dan Wibisana pergi, meninggalkan kak Laisa yang sedang sedih.
Sampai malam Ikanuri
dan Wibisana tak pulang-pulang. Sehingga Wak burhan dan warga kampung membentuk
beberapa kelompok untuk mencari mereka ke beberapa desa tetangga. Kak Laisa
tiba-tiba teringat bahwa beberapa minggu yang lalu Ikanuri dan Wibisana
membicarakan jalan pintas menuju ke kota melalui Gunung Kendeng. Akhirnya kak
Laisa, diikuti Dalimunte pergi ke Gunung Kendeng. Tepat ketika Ikanuri dan
Wibisana telah dihadang 3 harimau, Kak Laisa datang. Ia mendorong Ikanuri dan
Wibisana, sehingga gantian ia yang dikelilingi harimau. Setelah beberapa menit
harimau itu memperhatikan Kak Laisa, mereka pergi meninggalkan Kak Laisa. Ia jadi teringat Ayahnya yang
meninggal akbat diterkam harimau, Laisapun pasrah dan berdoa, lalu tiba-tiba
saja harimau pergi begitu saja. Menurut Dalimunte setelah membaca buku, ketika
ia sudah bersekolah di sekolah provinsi, diketahui bahwa harimau tersebut memiliki insting kasih sayang, dan harimau
itu melihat pancaran rasa kasih sayang yang begitu mendalam dari Laisa terhadap
kedua adiknya. Oleh sebab itu harimau tersebut tidak jadi menerkam Laisa.
Setelah kejadian tersebut Ikanuri dan Wibisana sangat menyesal dengan perbuatan
merekan dan meminta maaf kepada Laisa, akhirnya Laisa, Dalimunthe, Ikanuri dan
Wibisana berpelukan ditengah malam dan dibawah sinar kunang-kunang.
Beberapa bulan
kemudian datanganlah mahasiswa KKN ke Lembah Lahambay. Mereka mengadakan
pertemuan di balai desa untuk memberikan penyuluhan tentang ekonomi, kesehatan,
dan instalasi listrik kepada warga Lembah lahambay. Di tengah-tengah malam
Yashinta yang sedang sakit tiba-tba tubuhnya mengejang, demi Yashinta, Laisa
rela menerobos hujan ketika tengah malam untuk memanggil mahasiswa KKN fakultas
Kedokteran. Dia tidak peduli akan derasnya hujan, dia lari sendirian ke kampung
atas yang jaraknya lebih dari 10 km tanpa putus asa. Bahkan dia mempertaruhkan
nyawanya. Dia sempat tergelincir hingga mata kakinya bergeser. Ia merasakan
sakit sekali, namun dia tidak memperdulikannya tetap menerobos hujan. Dan
menyimpan lukanya sendirian.
Setelah selesai
mengobati Yashinta mahasiswa-mahasiswa kedokteran tersebut pamit dan
Laisapun berterimakasih kepada mereka.
Lalu Laisa masuk ke dalam rumah dan tak sengaja Laisa mendengar percakapan
mahasiswa mereka berkata bahwa suhu udara, iklim cuaca dan keadaan lembah
Lahambay sangat bagus untuk berkebun strawberry. Dari kejadian tersebut Laisa
mengubah ladangnya untuk berkebun jagung menjadi strawberry karena strawberry
lebih mahal apabila dijual di kota. Walaupun sempat mengalami kegagalan panen
karena kurangnya pengetahuan untuk merawat tanaman strawberry namun Laisa tidak
mudah menyerah. Ia mencoba kembali dan akhirnya berhasil menjadi pengusaha
strawberry sukses hingga bisa
menyekolahkan adik-adiknya sampai ke
jenjang perkuliahan.
Waktupun terus berlalu
Berkat perjuangan kerasnya selama ini membesarkan adik-adiknya, telah
menjadikan adik-adiknya orang yang hebat dan sukses. Dalimunte dengan gelar
profesornya yang sampai saat ini sering muncul di Televisi akibat temuan-temuan
terbarunya, selain itu ia mendapatkan gelar profesor termuda. Wibisana dan
Ikanuri dengan perusahaan otomotifnya yang telah lama diimpikannya, dan
Yashinta berhasil meraih gelar S2 nya di Belanda dan kini menjadi seorang
peneliti satwa dan telah menemukan burung yang
spesies belum diketahui. Sementara Kak Laisa tetap tinggal di desa
mereka bersama Mamak Lainuriuntuk mengurus perkebunan strawberry.
Sampailah saat dimana
adiknya telah cukup dewasa untuk berumah tangga. Tetapi mereka semua segan
untuk melangkahi Kak Laisa. Di kampungnya, jika mendahului perkawinan kakak,
maka hal tersebut masih dianggap tabu. Maka mulailah adik-adiknya berusaha
mencarikan jodoh untuk Laisa, berkali-kali calon untuk Laisa selalu menolak
karena kaget melihat fisik Laisa yang tidak berparas cantik dan semuanya
berakhir mengecewakan.
Laisa mengerti
adik-adiknya tidak ingin melangkahinya, padahal mereka semua sudah memiliki
calon pendamping. Bahkan calon istri Dalimunthe yaitu Cihuy sudah didesak oleh
orang tuanya untuk segera dinikahi oleh Dalimunthe apabila tidak sesegara
mungkin Cihuy akan dinikahkan dengan orang lain. Dalih tetap menolak untuk
menikahi Cihuy dengan segera karena enggan melangkahi kak Lais. Laisa pun marah
dan meminta Dalih untuk menikahi Cihuy. Akhirnya mereka menikah dan dikaruniai
anak. Setelah Dalimunthe menikah Ikanuri dan Wibisana menyusul menikah walaupun
sangat berat untuk melangkahi kak Laisa karena itu merupakan permintaan Kak
Laisa.
Waktu terus berlalu tubuh Laisa yang terbiasa bekerja
keras akhirnya rubuh juga digerogoti penyakit yang hanya diketahui oleh ibunya.
Laisa melarang Mamak Lainuri untuk memberitahukan kepada adik-adiknya ,
sehingga tidak ada satupun adiknya yang tahu kalau dirinya menderita kanker
paru-paru, yang pada akhirnya telah sampai pada kanker stadium IV. Dan sampailah saat dimana untuk pertama kali
dan terakhir kali dalam hidupnya dia membutuhkan kehadiran adik-adiknya di
sisinya, hingga akhirnya mau atau tidak, keempat adiknya tahu akan penyakitnya
itu. Dan permintaan terakhir Laisa adalah melihat Yashinta menikah. Akhirnya
dengan paksaan Kak Laisa, Yashinta yang bersikeras untuk tidak mendahului Kak Laisa, menikah
dengan Ghogsky. Sementara Kak Laisa sudah tidak mampu lagi berjuang melawan
penyakitnya akhirnya ia meninggal dunia dan tersenyum karena telah selesai
menunaikan tugasnya sebagai kakak, anak dan telah memenuhi amanat terakhir ayah
tirinya.
Gaya
Bahasa : Cerita
dalam novel diceritakan secara deskriptif, sehingga hanya ada sedikit dialog
antar tokoh. Namun, bahasanya tetap mudah dipahami, ringan, dan mampu membuat
pembaca ikut merasakan peristiwa yang dialami tokoh.
Catatan
tentang Novel : novel yang sangat menginspirasi sekali,
karena banyak nilai dan pelajaran yang dapat kita ambil untuk diterapkan di
kehidupan sehari-hari. Novel ini sangat cocok untuk dibaca oleh semua kalangan,
dari anak kecil sampai orang tua.
Nilai-nilai
:
Nilai religi : bertaqwa kepada Tuhan Yang maha Esa
Nilai sosial : saling tolong menolong, menghormati,
dan menyayangi.
Nilai Moral : berbakti kepada orang tua dan orang yang
lebih tua
Nilai estetika : budaya daerah di pedesaa
BACA JUGA