Pocut Meurah
Intan adalah salah seorang di antara sekian banyak pahlawan wanita Indonesia
dari Tanah Rencong. Beliau lahir pada tahun 1873, dibuang ke Jawa tahun 1901
dan meninggal pada 20 September 1937, dimakamkan di pekuburan umum desa
Tegalsari Kecamatan Kota Kabupaten Blora. Sekitar 26 km dari makam R.A. Kartini
desa Mantingan Kabupaten Rembang Jawa Tengah.
Pocut Meurah
Intan adalah seorang puteri bangsawan yang ikut bertempur melawan Belanda.
Suaminya, seorang pangeran keturunan Sultan Aceh bernama Tuanku Majid bin
Tuanku Abbas bin Sultan Alaiddin Jauhar Alam Syah yang memegang pemerintahan di
Aceh selama 28 tahun, dan wafat dalam tahun 1245 H.
Dari
perkawinannya dengan Tuanku Majid, ia memperoleh tiga orang putera yang bernama
Tuanku Budiman, Tuanku Muhammad, dan Tuanku Nurdin yang ketiganya juga menjadi
pahlawan Aceh.
Setelah
Sultan Alauddin Mahmud Syah (yang menolak ultimatum Belanda) syahid dalam
“perang kuman” yang dilakukan tentara Belanda, maka dilantiklah Sultan
Alaiuiddin Muhammad Daud Syah menjadi Sultan Kerajaan Darussalam dalam usia
masih muda (kira-kira 10 tahun). Karena itu ditetapkan Tunku Hasyim Bangta Muda
menjadi Mangkubumi yang bertugas melaksanakan pemerintahan sehari-hari.
Ibukota
kerajaan telah dihijrahkan ke Indrapuri, yang selanjutnya dihijrahkan ke
Keumala Dalam karena peperangan di wilayah Aceh Besar semakin dahsyat, setelah
Belanda mendatangkan tentara bantuan puluhan ribu dari Betawi (Jawa).
Tidak lama
kemudian, sifat peperangan berubah dari “perang frontal” menjadi “perang
gerilya” di seluruh tanah Aceh. Para pemimpin perang gerilya dari wilayah Aceh
Besar banyak yang hijrah ke Pidie, Aceh Utara, Aceh Tengah, Aceh Timur, dan
sebagainya.
Salah satu
daerah perang gerilya ialah daerah Laweung dan Batee (sekarang Kabupaten Pidie)
yang dipimpin oleh seorang Ibu Mujahidah dan putra-putranya yang pahlawan yakni
Pocut Meurah Intan, Tuanku Budiman, Tuanku Muhammad, Tuanku Nurdin, dan tentara
Belanda Veltman yang terkenal dengan sebutan Tuang Pedoman (seorang perwira
yang baik hati). Ini ada kisahnya.
Suatu hari
Pocut Meurah Intan disangka menyembunyikan sebilah kelewang dalam lipatan
kainnya. Dengan tuduhan itu, serta merta ia mencabut rencongnya seraya berucap
“Kalau bergitu biarlah aku syahid!” dan ia pun menyerbu pasukan Belanda.
Anggota-anggota
pasukan nampaknya kurang bernafsu bertempur dengan seorang wanita yang mengamuk
bagai singa betina menikam ke kiri dan ke kanan sampai tak lama kemudian Pocut
Meurah Intan jatuh terbaring di tanah. Ia mengalami luka-luka parah, dua
tetakan pedang di kepala dan dua buah di bahunya. Sedang salah satu urat syaraf
keningnya putus. Ia berbaring di tanah penuh darah bercampur lumpur laksana
setubuh daging yang dicincang. Seorang Sersan Belanda yang melihatnya merasa
iba. Penuh belas kasihan ia berkata kepada komandannya : “Bolehkah saya
melepaskan tembakan untuk melepas nyawanya?” Tak ada jawaban, pasukan itu
meneruskan perjalanan.
Belanda
menyangka wanita itu telah meninggal. Tetapi beberapa hari kemudian, Veltman
mendengar bahwa di Kedal Biheu Pocut Meurah Intan masih hidup. Bahkan ia akan
merencanakan pembunuhan terhadap penduduk kampong yang telah menyerah kepada
Belanda. Untuk membuktikan hal itu Veltman memerintahkan penggeledahan ke
rumah-rumah penduduk. Dalam suatu pencarian, ditemukan Pocut Meurah Intan dalam
keadaan yang menyedihkan, luka-lukanya dibalut kotoran sapi. Keadaannya lemah,
karena terlalu banyak mengeluarkan darah. Ia semula menolak bantuan Belanda
untuk mendatangkan dokter. Namun akhirnya ia menerima juga uluran tangan itu.
Dalam keadaan luka-luka, Pocut Meurah Intan menjadi tawanan dan ditempatkan di
Banda Aceh (dahulu bernama Kutaraja). Tidak berapa lama, ketiga putranya juga
ditangkap, termasuk seorang panglimanya Pang Mahmud.
“Kepahlawanan
Pocut Meurah Intan yang pantang menyerah, sekalipun seluruh badannya telah
berlubang-lubang dilanggar peluru musuh, telah membuat para perwira Belanda
kagum dan hormat seperti yang dilukiskan oleh Zentgraaff dalam bukunya Aceh.
Pocut Meurah
Intan, bersama ketiga putranya dan Pang Mahmud dibuang ke Jawa, ke daerah Blora
Jawa Tengah. Sementara Tuanku Muhammad dibuang ke Menado. Pada tanggal 20
September 1937 Pocut Meurah Intan meninggal.
Makam Pocut
Meurah Intan dan keluarganya di Tegalsari Blora dirawat baik di bawah pohon-pohon
rindang. Pemerintah Dati II Blora maupun rakyatnya sangat menghargai kedua
pahlawan perang Aceh tersebut. Mereka menganggap Pocut Meurah Intan dan Tuanku
Nurdin adalah dua orang Pahlawan Nasional yang seyogyanya dihormati oleh bangsa
Indonesia.