Cari Blog Ini

Minggu, 10 Februari 2019

Makalah Enkulturasi Budaya





MAKALAH TUGAS PENGANTAR ILMU BUDAYA
“ENKULTURASI”

Dosen Pengampu:
Suseno, S. Pd., M. A.

Disusun Oleh:
Prodi               : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Rombel            : 2
Nama               : Tasya Cantika PP                    (2101418064)           
                           Bela Hastya P                        (2101418065)    
                           Salma Rosita                         (2101418066)    
                           Fitri Andriani                        (2101418067)    
                           Laila Nur Azizah                    (2101418068)      
                           Kevin Irvanin                         (2101418069)

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Enkulturasi” ini dengan baik meskipun banyak kekurangan di dalamnya.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dengan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.      
Kami juga menyadari bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang akan kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Kami mengucapkan mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan.




Semarang, November 2018
Penyusun







Daftar Isi

HALAMAN JUDUL . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .i
KATA PENGANTAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ii
DAFTAR ISI. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .iii
BAB I PENDAHULUAN:
A. Latar Belakang. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .1
B. Rumusan Masalah. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .1
C. Tujuan. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .1
BAB II PEMBAHASAN:
A.    Enkulturasi. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .2
Pengertian Enkulturasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
Media Enkulturasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .2
Fungsi dan Manfaat Enkulturasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .3
Dampak dari Enkulturasi yang Tidak Berhasil . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .4
Contoh Enkulturasi dalam Masyarakat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .4
F. Contoh Enkulturasi dari Daerah Masing-Masing Anggota Kelompok  . . . . . . . 5
Tradisi Rodad dari Kabupaten Banjarnegara . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .5
Ajaran Samin Surosentiko dari Kabupaten Blora  . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .6
Tradisi Sedekah Bumi dari Kabupaten Blora . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .9
Tradisi Ngumbah Pusaka dari Kabupaten Blora . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 10
Tradisi Begalan dari Kabupaten Banyumas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .11
Tradisi Sedekah Laut dari Kabupaten Cilacap . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .13
BAB III PENUTUPAN:
A. Kesimpulan. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .15
B. Saran. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 15
DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 16





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Masyarakat adalah suatu kumpulan individu yang memiliki karakteristik khas dengan aneka ragam etnik, ras, budaya, dan agama. Setiap kelompok masyarakat mempunyai pola hidup berlainan, bahkan orientasi dalam menjalani kehidupan pun tidak sama. Sebagai suatu unit sosial, setiap kelompok masyarakat saling berinteraksi yang memungkinkan terjadinya pertukaran budaya.
Dalam proses interaksi itu, setiap kelompok masyarakat saling mempelajari, menyerap, dan mengadopsi budaya kelompok masyarakat lain yang kemudian melahirkan sintesis budaya baru. Dalam kajian antropologi, ada tiga istilah untuk menjelaskan peristiwa interaksi sosial budaya, yakni sosialisasi, akulturasi, dan enkulturasi.
Enkulturasi adalah proses penanaman kebudayaan sejak dini yakni proses pembudayaan dalam diri kita. Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita. Oleh karena itu, kelompok kami menyusun makalah dengan judul elkulturasi.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah yang dimaksud dengan enkulturasi budaya?
2.      Bagaimanakah contoh-contoh kebudayaan dari daerah masing-masing anggota kelompok yang mengalami enkulturasi?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui yang dimaksud dengan enkulturasi budaya.
2.      Untuk mengetahui contoh-contoh kebudayaan dari daerah masing-masing anggota kelompok yang mengalami enkulturasi.

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Enkulturasi
A.     Pengertian Enkulturasi
Istilah enkulturasi sebagai suatu konsep, secara harfiah dapat dipadankan artinya dengan proses pembudayaan (Koentjaraningrat 1986: 233). Enkulturasi mengacu pada proses dengan mana kultur (budaya) ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kita mempelajari kultur, bukan mewarisinya. Kultur ditransmisikan melalui proses belajar, bukan melalui gen. Orang tua, kelompok, teman, sekolah, lembaga keagamaan, dan lembaga pemerintahan merupakan guru-guru utama dibidang kultur. Enkulturasi terjadi melalui mereka. (Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)
Enkulturasi adalah suatu proses sosial melalui mana manusia sebagai makhluk yang bernalar, punya daya refleksi dan inteligensia, belajar memahami dan mengadaptasi pola pikir, pengetahuan, dan kebudayaan sekelompok manusia lain. Definisi sederhananya adalah, "Enculturation refers to the process of learning a culture consisting in socially distributed and shared knowledge manifested in those perceptions, understandings, feelings, intentions, and orientations that inform and shape the imagination and pragmatics of social life" (Peter-Poole, 2002).
Menurut M.J.Herskovits, Enculturation (enkulturasi) adalah suatu proses bagi seorang baik secara sadar maupun tidak sadar, mempelajari seluruh kebudayaan masyarakat. Enkulturasi atau pembudayaan merupakan proses mempelajari dan menysuaikan alam pikiran dan sikap individu dengan sistem norma, adat, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Proses ini berlangsung sejak kecil, mulai dari lingkungan kecil (keluarga) ke lingkungan yang lebih besar (masyarakat).
Dalam proses enkulturasi, seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pemikiran serta sikapnya dengan adat istiadat, sistem norma, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaan.
B.     Media Enkulturasi
1.  Keluarga
Anak-anak menghabiskan masa-masa awal kehidupan bersama keluarga dan memperoleh refleksi nilai dan pola perilaku keluarganya. Selanjutnya, kepada mereka ditunjukkan nilai-nilai dan pola-pola perilaku masyarakat. Anak-anak mempelajari norma-norma masyarakat melalui keluarga dan teman-teman bermain. Selain itu, mereka meniru berbagai macam tindakan yang terdapat dalam masyarakat. Kadang-kadang, orang tua mendorong anaknya supaya berperilaku sesuai dengan kehendak masyarakat dengan memberikan pujian dan menghukum mereka bila berperilaku menyimpang.
2.  Masyarakat
Seringkali berbagai norma dipelajari seseorang hanya sebagian-sebagian dengan mendengar dari orang lain dalam lingkungan pergaulan pada saat yang berbeda-beda pula. Sebetulnya, norma bukan saja diajarkan di lingkungan keluarga atau dalam pergaulan di masyarakat, tetapi diajarkan di sekolah-sekolah formal.
3.  Pendidikan di Sekolah
Dapat dikatakan, sistem persekolahan adalah salah satu pilar penting yang menjadi tiang penyangga sistem sosial yang lebih besar dalam suatu tatanan kehidupan masyaraka melalui strategi kebudayaan. Dalam hal ini, pendidikan merupakan medium transformasi nilai-nilai budaya, penguatan ikatan-ikatan sosial. Melalui pendidikan, kemampuan kognitif dan daya intelektual individu dapat ditumbuhkembangkan dengan baik. Kemampuan kognitif dan daya intelektual ini sangat penting bagi individu untuk mengenali dan memahami konsep kebudayaan suatu masyarakat yang demikian beragam, unik, dan bersifat partikular. Melalui sistem persekolahan setiap anak dikenalkan sejak dini mengenai pentingnya membangun tatanan hidup bermasyarakat, yang di dalamnya terdapat berbagai macam entitas sosial. Sekolah adalah miniatur masyarakat, karena di dalamnya ada struktur, status, fungsi, peran, norma dan nilai.
C.  Fungsi dan Manfaat Enkulturasi
Dalam proses ini seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat-istiadat, sistem norma, serta peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Kata enkulturasi dalam bahas Indonesia juga berarti “pembudayaan”. Sorang individu dalam hidupnya juga sering meniru dan membudayakan berbagai macam tindakan setelah perasaan dan nilai budaya yang memberi motivasi akan tindakan meniru itu telah diinternalisasi dalam kepribadiannya.
1. Sosialisasi Nilai
Fungsi sosialisasi merupakan fungsi untuk mengajarkan dan memperkenalkan nilai-nilai kebudayaan.
2.  Identitas Sosial
Melalui ber-enkulturasi yang digunakan untuk menyatakan identitas sosial. Perilaku itu dinyatakan melalui tindakan berbahasa baik secara verbal dan nonverbal. Dari perilaku berbahasa itulah dapat diketahui identitas diri maupun sosial, misalnya dapat diketahui asal-usul suku bangsa, agama, maupun tingkat pendidikan seseorang.
D.     Dampak dari Proses Enkulturasi yang tidak Berhasil
Seseorang yang mengalami hambatan dalam proses enkulturasi, akan berakibat kurang baik. Setiap individu yang mengalami hambatan tersebut apabila dihadapkan pada situasi yang berbeda, kelihatan akan canggung dan kaku dalam pergaulan hidupnya. Akibatnya, individu tersebut cenderung untuk menghindari norma-norma dan aturan-aturan dalam masyarakat. Hidupnya penuh konflik dengan orang lain. Individu yang mengalami hal itu disebut deviants.
E.     Contoh Enkulturasi dalam Masyarakat
Dalam masyarakat seorang individu akan di transmisi oleh budaya yang telah lama berkembang di sekitar masyarakat dimana ia tinggal, belajar membuat alat-alat permainan, belajar membuat alat-alat kebudayaan, belajar memahami unsur-unsur budaya dalam masyarakatnya. Pada mulanya, yang dipelajari tentu hal-hal yang menarik perhatiannya dan yang konkret. Kemudian sesuai dengan perkembangan jiwanya, ia mempelajari unsur-unsur budaya lainnya yang lebih kompleks dan bersifat abstrak.
Contohnya, orang Indonesia mempelajari aturan adat Indonesia yang menganjurkan orang agar kalau bepergian ke tempat yang jauh, kembalinya membawa oleh-oleh untuk teman, tetangga, atau saudara. Hal ini dapat menumbuhkan rasa persaudaraan dan gotong royong yang merupakan motivasi dari tindakan tersebut. Sebuah nilai yang ditransmisikan melului proses enkulturasi yang tanpa kita sadari nilai tersebut sudah tertanam dalam diri kita.
Enkulturasi dapat kita sepakati sebagai suatu proses pembudayaan yang tanpa disadari sudah ditanamkan sejak kecil terhadap individu. Budaya yang telah lama berkembang di sekitar masyarakat dimana ia tinggal. Seorang individu dalam hidupnya juga sering meniru dan membudayakan berbagai macam tindakan setelah perasaan dan nilai budaya yang memberi motivasi akan tindakan meniru itu telah diinternalisasi dalam kepribadiannya.
Proses enkulturasi dilakukan melalui belajar membuat alat-alat permainan, belajar membuat alat-alat kebudayaan, belajar memahami unsur-unsur budaya dalam masyarakatnya. Pada mulanya, yang dipelajari tentu hal-hal yang menarik perhatiannya dan yang konkret. Kemudian sesuai dengan perkembangan jiwanya, ia mempelajari unsur-unsur budaya lainnya yang lebih kompleks dan bersifat abstrak.
Dari proses enkulturasi yang pada akhirnya bisa membentuk pribadi seorang individu maka dari kebudayaan yang berbeda-beda terciptalah identitas sosial dari suatu kelompok masyarakat yang berbeda pula. Namun dari proses enkulturasi yang kurang sempurna, akan membawa dampak yang buruk bagi seorang individu. Individu tersebut cenderung untuk menghindari norma-norma dan aturan-aturan dalam masyarakat. Hidupnya penuh konflik dengan orang lain. Individu yang mengalami hal itu disebut deviants.

B.  Contoh-Contoh Kebudayaan Dari Daerah Masing-Masing Anggota Kelompok Yang Mengalami Enkulturasi
1.      Tradisi rodad dari Kabupaten Banjarnegara (Tasya Cantika P. P. /2101418064)
Rodad merupakan tradisi unik warisan budaya leluhur dan sebuah kearifan lokal yang secara turun temurun masih dijaga dan dilesatarikan oleh masyarakat khususnya di Desa Pasegeran Kecamatan Pandanarum Banjarnegara. Rodad ini seni ketrampilan yang didalamnya memadukan antara unsur beladiri dan lagu/nyanyian yang diiringi dengan sholawat sebagai bentuk pujia-pujian. Instrumen yang digunakan untuk mengiringi sholawat dan gerakan beladiri antara lain terbangan, jedor dan rebana.
Rodad menjadi salah satu metode dakwah yang dilakuakan para wali melalui akulturasi budaya yang ada pada masyarakat setempat waktu itu. Tradisi ini juga bertujuan untuk syiar Islam, karena syair-syair yang disampaikan berupa pesan yang merupakan sholawat. Pementasan Rodad biasanya digelar untuk meramaikan upacara meminta keselamatan dan terhindar dari malapetaka. Rodad umumnya diselenggarakan pada saat bulan-bulan besar Islam.
Dari tradisi rodad tersebut, enkulturasi budayanya adalah penerapan norma agama yang terdapat di kesenian tersebut. Rodad dilakukan dengan cara melafalkan sholawat dan juga untuk syiar Islam yang bertujuan untuk menyebarkan kebaikan.      
2.      Ajaran Samin Surosentiko dari Kabupaten Blora (Bela Hastya P. /2101418065)
Ajaran Samin (disebut juga Pergerakan Samin atau Saminisme) adalah salah satu suku yang ada di Indonesia. Masyarakat ini adalah keturunan para pengikut Samin Surosentiko yang mengajarkan sedulur sikep, di mana mereka mengobarkan semangat perlawanan terhadap Belanda dalam bentuk lain di luar kekerasan. Bentuk yang dilakukan adalah menolak membayar pajak, menolak segala peraturan yang dibuat pemerintah kolonial. Masyarakat ini acap memusingkan pemerintah Belanda maupun penjajahan Jepang karena sikap itu, sikap yang hingga sekarang dianggap menjengkelkan oleh kelompok di luarnya.  
 
           Kelompok Samin lebih suka disebut wong sikep, karena kata samin bagi mereka mengandung makna negatif. Orang luar Samin sering menganggap mereka sebagai kelompok yang lugu, tidak suka mencuri, menolak membayar pajak, dan acap menjadi bahan lelucon terutama di kalangan masyarakat Bojonegoro.   
            Samin Surosentiko mengembangkan ajaran Saminisme di daerah Klopoduwur, Blora pada tahun 1890. Banyak penduduk yang tertarik dan menjadi pengikut dari Samin Surosentiko. Hingga tahun 1907 pengikut Samin sudah sampai 5000 orang lebih. Pemerintah Belanda yang berkuasa pada masa tersebut mulai merasa was - was atas para pengikut Samin Surosentiko dan mulai menangkapi para pengikut Samin satu persatu.

Ajaran Sedulur sikeppertama kali diajarkan di daerah Klopoduwur Blora Jawa Tengah. Masyarakat Samin dengan ajaran sedulur sikep berkembang di dua desa di Kawasan hutan Randublatung Blora Jawa Tengah. Ajaran dengan cepat menyebar ke desa-desa lainnya. Mulai dari pantai utara Jawa sampai seputar hutan di Pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan di perbatasan provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ajaran Samin yang disebut lebih dikenal dengan ajaran sedulur sikep mempunyai pokok ajaran sebagai berikut:
a.    Agama adalah pegangan hidup. Masyarakat Samin tidak membeda-bedakan agama, oleh karena itu orang Samin tidak pernah mengingkari atau membenci agama lain. Yang penting adalah perilaku dan sikap hidup.
b.    Jangan mengganggu orang lain, jangan bertengkar, jangan suka iri hati, dan jangan suka mengambil milik orang lain.
c.    Bersikap sabar dan jangan sombong.
Manusia hidup harus memahami kehidupan sebab hidup adalah roh dan hanya ada satu, selamanya. Menurut masyarakat Samin, roh orang yang meninggal hanya menanggalkan pakaian atau badannya saja.
Bila berbicara masyarakat samin harus bisa menjaga diri, jujur, dan saling menghormati. Berdagang bagi masyarakat Samin dilarang karena dalam perdagangan terdapat ketidakjujuran contoh pada penentuan harga jual suatu barang. Masyarakat samin juga tidak boleh menerima sumbangan dalam bentuk uang.  
            Bahasa yang digunakan sehari-hari masyarakat samin adalah bahasa Jawa Ngoko, yaitu bahasa Jawa kasar. Pakaian yang dipakai oleh masyarakat Samin dalam keseharian terdiri dari baju lengan panjang tanpa krah warna hitam, celana selutut warna hitam dan memakai ikat kepala bagi laki-laki. Sedangkan para wanita memakai kebaya dan kain panjang.
Sistem kekerabatan masyarakat Samin mempunyai persamaan dengann sistem kekerabatan masyarakat Jawa pada umumnya. Tetapi masyarakat Samin tidak terlalu mengenal hubungan darah atau garis generasi di atas nenek dan kakek. Masyarakat Samin mempunyai tradisi berkunjung terutama pada saat tetangga mempunyai hajatan, mereka pasti datang walaupun jarak rumahnya sangat jauh. Pernikahan dalam masyarakat Samin merupakan peristiwa yang sangat penting. Mereka tidak menikah di KUA atau Kantor Catatan Sipil tetapi di depan tetua adat. Kalau tetua adat tidak bisa datang maka perkawinan juga dianggap sah apabila dilakukan didepan orangtua kedua mempelai. Ritual dan tradisi yang ada di masyarakat Samin antara lain nyadran, suran dan upacara yangberhubungan dengan daur hidup seperti khitanan, perkawinan, kehamilan,kelahiran, kematian yang biasanya dirayakan dengan sederhana
            Perkembangan teknologi dan informasi yang memunculkan budaya populer juga mempengaruhi kehidupan masyarakat Samin. Hal ini dapat dilihat dari perilaku masyarakat Samin dalam keseharian, misal menggunakan peralatan plastik, alumunium untuk peralatan dapur, menggunakan pupuk buatan paprik untuk bertani, mempunyai peralatan elektronik seperti HP, TV,Radio,Tape. Bahkan ada beberapa masyarakat Samin yang mempuntai sepeda motor, mobil.Masyarakat Samin bisa menerima hadirnya budaya populer dan perkembangan teknologi informasi. Tetapi masyarakat Samin tetap menjaga kemurnian ajaran sedulur sikep. Misalnya mereka bisa menerima hadirnya hand phone tetapi HP hanya sebatas alat merek tetap berkomunikasi dengan bahasa Jawa ngoko tidak memilih menggunakan bahasa populer, hal ini juga dilakukan oleh pemuda-pemudi suku samin.     
            Masyarakat Samin adalah komunitas yang konsisten dalam berperilaku antara lain menjunjung tinggi nilai kejujuran, tidak iri, dengki, tidak berprasangka jelek pada orang lain, bersikap dan bertindak apa adanya (tidak mengada-ada). Bagi masyarakat Samin yang penting tidak mengganggu orang lain dan sebaliknya masyarakat Samin juga tidak mau orang lain mengganggu kehidupan dan pranata sosialnya Masyarakat Samin bisa menerima hadirnya budaya populer dan perkembangan teknologi informasi.Tetapi masyarakat samin tetap menjaga kemurnian ajaran sedulur sikep.
            Enkulturasi dapat dilihat dari masyarakat sekarang banyak sekolah daerah Blora  yang menggunakan pakaian-pakaian samin untuk seragam di sekolahnya. Serta kita sebagai masyarakat Blora tetap menggunakan bahasa Jawa Krama, walaupun sudah banyak budaya lain yang masuk tetapi orang samin tetap berpegang teguh pada ajaran sedulur sikep.
       
3.      Tradisi Sedekah Bumi dari Kabupaten Blora (Salma Rosita/2101418066)        
Di Kabupaten Blora, tradisi sedekah bumi yang biasa disebut “gas deso” oleh masyarakat Blora merupakan suatu tradisi tahunan yang setiap desa berbeda-beda waktu pelaksaannya. Tergantung pada kapan desa tersebut mengalami panen raya dan kemudian baru melaksanakan suatu tradisi sedekah bumi tersebut, sebagai wujud rasa syukur masyarakat kepada Yang Maha Memberi Rejeki.
Pada upacara tradisi sedekah bumi atau gas deso ini, tidak banyak peristiwa dan kegiatan yang dilakukan di dalamnya. Hanya saja, pada waktu acara tersebut biasanya seluruh masyarakat sekitar yang merayakannya membuat tumpeng dan jajanan khas daerah dan berkumpul menjadi satu di tempat sesepuh kampung, di balai desa, sumur, waduk, makam sesepuh atau tempat-tempat yang telah disepakati oleh seluruh masyarakat setempat untuk menggelar acara ritual sedekah bumi tersebut. Setelah itu, kemudian masyarakat membawa tumpang dan jajanan khas daerah tersebut ke balai desa atau ke suatu tempat untuk didoakan oleh seorang pemuka agama atau sesepuh setempat. Usai didoakan oleh sesepuh atau pemuka agama, kemudian kembali diserahkan kepada masyarakat setempat yang membuatnya sendiri.
Nasi tumpeng dan jajanan khas daerah yang sudah didoakan oleh sesepuh kampung atau pemuka agama setempat tersebut kemudian dimakan secara ramai-ramai oleh masyarakat yang merayakan acara sedekah bumi itu. Namun, ada juga sebagian masyarakat yang membawa nasi tumpeng dan jajanan khas daerah tersebut pulang untuk dimakan beserta sanak keluarganya di rumah masing-masing dan biasanya juga ada beberapa kerabat atau teman yang bermain di saat sedekah bumi untuk meramaikan suasana bersama sambil memakan jajanan atau makanan yang sudah disediakan. Pembuatan nasi tumpeng dan jajanan khas daerah ini merupakan salah satu syarat yang harus dilaksanakan pada saat upacara tradisi tradisional itu.
Dalam sedekah bumi ini juga dipertontonkan kesenian daerah seperti barongan , wayang kulit , ketoprak (bukan makanan), serta kesenian tayub  yang dilaksanakan pada tempat yang sudah disepakati oleh warga desa. Dalam acara ini pasti sangat meriah dan ramai. Biasanya juga dilaksanakan mulai dari pagi hari sampai dengan malam harinya.
Menurut persebaran kebudayaan, enkulturasi dapat dilihat dari antusias seluruh warga dalam mengikuti acara sedekah bumi atau gas deso yang diadakan setiap tahun. Setiap masyarakat selalu mengikuti acara tersebut karena tradisi tersebut sudah dilakukan secara turun temurun. Proses enkulturasi ini berlangsung sejak kecil, mulai dari lingkungan kecil (keluarga) ke lingkungan yang lebih besar (masyarakat). Misalnya anak kecil menyesuaikan diri dengan waktu makan dan waktu minum secara teratur, mengenal ibu, ayah, dan anggota-anggota keluarganya, adat, dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam keluarganya, dan seterusnya sampai ke hal-hal di luar lingkup keluarga seperti norma, adat istiadat, serta hasil-hasil budaya masyarakat. Tradisi sedekah bumi juga pertama kali diperkenalkan oleh orang tua kepada generasi penerusnya supaya mengerti dan tetap melestarikan tradisi yang diadakan setiap satu tahun sekali ini. Dengan demikian tradisi sedekah bumi terus berkembang hingga sekarang. 
4.      Tradisi Ngumbah Pusaka dari Kabupaten Blora (Fitri Andriani/2101418067)            
Hampir sebagian warga di Kabupaten Blora masih mempertahankan  dan mempelajari tradisi membersihkan dan mencuci benda pusaka peninggalan nenek moyang di bulan Suro (Tahun Jawa). Tradisi itu dipercaya bahwa benda peninggalan seperti keris, mata tombak dan lainnya memiliki kekuatan ghaib sehingga harus dirawat agar mendapatkan keselamatan, perlindungan dan ketentraman.
Di trotoar eks stasiun kereta api Blora menjadi salah satu tempatnya untuk kerja. Di tempat itu sejumlah benda pusaka sudah diantrikan oleh pemiliknya untuk dicuci. Aneka benda pusaka yang dicuci, selain keris, ada juga mata tombak, pedang dan golok yang usianya sudah puluhan tahun dan dianggap pusaka oleh pemiliknya.
Untuk mencuci sebilah keris, cukup mudah. Bilah keris disikat menggunakan cairan jeruk nipis, sabun colek dan lerak. Setelah dibilas dengan air bersih, selanjutnya bilah keris dijemur hingga kering. Pada tahap akhir, bilah keris direndam dengan larutan khusus untuk memunculkan pamor keris. Apabila tidak dirawat, kata dia, isi yang ada di dalam benda pusaka tersebut akan pudar atau akan hilang sama sekali, dan hanya berfungsi sebagai senjata biasa. Salah satu warga yang sampai saat ini masih memlakukan tradisi ini yaitu Bapak Mulyono berusia 60 tahun, warga Kecamanatan Todanan. Ia sudah mulai belajar mencuci keris sejak umur 10 tahun dari almarhum Reso Saji, ayahnya.
5.      Tradisi Begalan dari Kabupaten Banyumas (Laila Nur Azizah/2101418068)
Seni tutur Begalan ini mengandung unsur tatanan, tuntunan, dan tontonan yang diyakini dan dipercaya oleh masyarakat Banyumas. Begalan menjadi suatu norma yang turun menurun dan harus diikuti oleh masyarakat Banyumas yang percaya dan sekaligus dapat menjadi tontonan bagi tamu undangan. Maka sampai sekarang, seni tutur Begalan masih sering diadakan oleh masyarakat Banyumas dan sekitarnya yang percaya untuk mengadakan Begalan pada hajat pernikahan putranya. Begalan dilaksanakan apabila ada pengantin pria sebagai anak sulung  mendapatkan jodoh putri sulung, pengantin putra sebagai anak bungsu mendapat jodoh putri bungsu, atau pengantin pria sulung mendapat jodoh putri bungsu.  
Hal ini dilaksanakan dengan maksud untuk memberikan wejangan, ular-ular atau nasihat yang ditujukan kepada mempelai dalam mengarungi kehidupan yang baru dalam keluarga maupun masyarakat. Nasihat atau petuah tersebut terdapat dalam dialog antara pemeran Suradenta sebagai begal menanyakan simbol perlengkapan atau barang-barang yang dibawa oleh pemeran Surantani. Surantani memberikan penjelasan satu persatu simbol dari perlengkapan tersebut.
Begalan adalah seni tutur tradisional sebagai sarana upacara pernikahan yang berasal dari Banyumas. Kata Begalan berasal dari kata ‘begal’ dalam bahasa Banyumas yang artinya sama dengan rampok atau perampok. Begalan berarti perampasan atau perampokan di tengah jalan. Begalan menggambarkan peristiwa perampokan terhadap barang bawaan dari pihak mempelai pria oleh seorang begal.
Begalan dilakukan oleh dua orang dewasa yang merupakan saudara dari pihak mempelai pria. Kedua pemain begalan menari didepan kedua mempelai dengan membawa peralatan rumah tangga yang disebut dengan brenong kepang. Peralatan tersebut memiliki makna simbol dan berisi falsafah Jawa yang berguna bagi mempelai yang akan memulai hidup baru dan membangun rumah tangga.
Istilah Begalan dalam kesenian ini memiliki arti menjaga keselamatan apabila ada roh-roh jahat yang datang dan mengganggu. Kesenian Begalan dilakukan sebagai salah satu syarat untuk menghindari kekuatan-kekuatan gaib yang mengganggu jalannya acara pernikahan. Arti Begalan dijelaskan dengan ucapan kebegalan sambekalanipun.Maksudnya agar dijauhkan dari mara bahaya.
Hingga saat ini, tradisi begalan masih dilestarikan, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Agar budaya itu tidak hilang, setiap orang tua yang memiliki anak dan hendak menikahkan anaknya yang sesuai ketentuan begalan, maka kebanyakan akan melaksanakan tradisi begalan tersebut. Selain karena tradisi, begalan juga bisa dijadikan bahan ajar untuk mengenalkan budaya Banyumas kepada anak anak yang menontonnya.
6.      Tradisi Sedekah Laut dari Kabupaten Cilacap (Kevin Irvanin/2101418069)
Tradisi sedekah laut berlangsung sejak zaman pemerintahan Bupati Cilacap ke III R.Tumenggung Tjakrawerdaya  yang memerintahkan kepada sesepuh nelayan Pandanarang bernama Ki Arsa Menawi untuk melarung sesaji kelaut selatan pada Jumat Kliwon bulan Syura tahun 1875 dan sejak tahun 1983 diangkat sebagai atraksi wisata.
Prosesi ritual sedekah laut dilakukan sesuai urutan (pakemnya) yang diawali dengan pergelaran sendratari di pendopo Wijaya Kusuma Sakti yang menggambarkan perintah pelarungan sesaji ke laut selatan.
Dalam pakemnya dikisahkan bahwa R.Tumenggung Tjakrawerdaya  yang diperankan oleh Bupati Cilacap H.Tatto Suwarto Pamuji memanggil sesepuh nelayan cilacap dan memerintahkan kepada para nelayan cilacap setiap bulan syura agar mengadakan sedekah laut dengan melarung jolen yang berisi Kepala Kerbau, Tumpeng  golong dan aneka jajanan pasar ke segara kidul.
Sesaji yang telah ditempatkan dalam jolen tersebut akan dikirab menuju pantai teluk penyu guna dilarung ke pantai pulau majeti yang berada di selatan pulau Nusakambangan Cilacap. Dengan menggunakan kereta kencana, Bupati Cilacap H Tatto Suwarto Pamuji beserta istri mengikuti kirab  hingga ke pantai teluk penyu diiringi oleh para nelayan sambil menampilkan berbagai kesenian tradisional.
Arak-arakan pelarungan jolen  diikuti juga oleh seluruh punggawa kadipaten serta beberapa Abdi Dalam. Beberapa anggota muspida dan petinggi di lingkungan pemkab Cilacap juga menemaninya dengan menunggangi kereta kuda dengan mengenakan baju khas nelayan, hitam-hitam dengan ikat sarung dipinggang serta ikat kepala khas Jawa.
Ribuan masyarakat membanjiri prosesi sedekah laut dari Pendapa Kabupaten, Alun-alun sampai ke Pantai Teluk Penyu sebagai tempat pelarungan Jolen Tunggul.
Puluhan perahu nelayan mengikuti pelarungan jolen hingga ke tengah laut, selanjutnya para nelayan beramai-ramai mengambil air laut ditempat jolen tersebut dilarung guna memandikan dan membersihkan kapalnya dengan air tersebut.
Usai melarung jolen, diadakan pula ragam pertunjukan kesenian tradisional di tiap-tiap TPI, antara lain pertunjukan wayang kulit, kesenian Barongsai, kuda lumping, panjat pinang, lengger serta beberapa pertunjukan lainnya. Tradisi ini merupakan ungkapan rasa syukur para nelayan atas hasil laut yang diberikan oleh tuhan dan sampai saat ini tradisi sedekah laut masih dipertahankan dan diturunkan kepada generasi penerus agar tradisi sedekah laut tidak hilang




















BAB III
PENUTUPAN

A.  Kesimpulan
Enkulturasi atau pembudayaan merupakan proses mempelajari dan menysuaikan alam pikiran dan sikap individu dengan sistem norma, adat, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Proses ini berlangsung sejak kecil, mulai dari lingkungan kecil (keluarga) ke lingkungan yang lebih besar (masyarakat). Di beberapa daerah ada kebudayaan-kebudayaannya yang mengalami enkulturasi, seperti tradisi rodad dari Kabupaten Banjarnegara, kebudayaan masyarakat samin dari Kabupaten Blora, tradisi sedekah bumi dari Kabupaten Blora, tradisi ngumbah pusaka dari Kabupaten Blora, tradisi begalan dari Kabupaten Purwokerto, dan tradisi sedekah laut dari Kabupaten Cilacap.

B.  Saran
Setelah mempelajari enkulturasi, sebaiknya kita mempelajari dan melestarikan kebudayaan daerah kita, sebagai bentuk penerapan dari enkulturasi. Sehingga, kebudayaan daerah kita tidak hilang begitu saja, atau diambil alih oleh bangsa lain.











Daftar Pustaka

http://nafaimut24.blogspot.com/2015/01/enkulturasi-kebudayaan-sedekah-laut.html?m=1  
http://www.blorakab.go.id/index.php/public/berita/detail/735/tradisi----ngumbah-pusaka----masih-bertahan-di-bulan-suro