Asal-usul Nama
Kelurahan Jepon
Pada masa
Kerajaan Pajang, hiduplah seorang raja yang memiliki 3 anak, seorang anak
perempuan dan dua orang anak laki-laki. Kedua anak laki-laki raja tersebut
memilih pergi dari kerajaan dan tidak ingin melanjutkan ayahnya sebagai seorang
raja. Mereka berdua pergi mengembara dengan berjalan kaki.
Di tengah
perjalanan, salah satu dari putra raja Pajang tersebut meninggal dunia,
tepatnya di Desa Semanggi. Sementara putra raja Pajang yang satunya melanjutkan
perjalanannya. Tibalah dia di suatu desa yang ia suka. Sehingga, ia memutuskan
untuk menetap dan melanjutkan hidupnya di sana. Di desa yang bernama Desa
janjang itu, ia memiliki seorang murid.
Suatu hari, ia
mengutus muridnya untuk membeli dandang
(panci untuk menanak nasi). Dengan berjalan kaki, pergilah murid tersebut
mengikuti kata hatinya, tanpa tahu arah tujuannya. Tiba-tiba di suatu tempat ia
menemukan orang-orang sedang berkerumunan. Karena ia penasaran, ia menghampiri
kerumunan tersebut. Ternyata kerumunan itu adalah sebuah pasar.
Di pasar
tersebut, ia mencari benda yang dipesan oleh Sang Guru. Dia sangat yakin, ia
akan sangat mudah menemukan dandang
di sana. Sayangnya setelah sekian lama mengelilingi pasar tersebut, ia hanya
menemukan njet (batu gamping) dan
juga empon-empon (rempah-rempah).
Hampir semua pedagang di pasar itu, menjual barang yang sama yaitu enjet atau empon-empon. Sehingga ia pun putus asa dan mengatakan “Nanti, jika
di sini sudah banyak pemukiman, desa ini akan disebut Desa Jepon”. Dan hal itu
menjadi kenyataan. Beberapa waktu kemudian, banyak orang yang bermukim di
daerah tersebut. Kemudian, disebutlah desa itu dengan nama Desa Jepon. Kata
“Jepon” itu berasal dari kata enjet dan
empon-empon yang digabungkan menjadi
satu kata, yaitu ‘Jepon’.
Ketika hendak
meinggalkan pasar itu, sang murid menemukan seorang pedagang yang menjual dandang seperti yang diharapkan gurunya.
Tanpa pikir panjang, ia membeli dandang
tersebut. Karena telah memperoleh apa yang menjadi tujuannya meninggalkan
desanya, ia pun pulang. Sayangnya santri tersebut tidak pernah kembali ke
gurunya. Hal ini dikarenakan, ia dibegal (dirampok) di sekitar pasar tersebut.
Ia pun meinggal di situ. Akhirnya, jasadnya dikuburkan di selatannya pasar,
yang sekarang bernama Pasar Rakyat Jepon. Masyarakat menyebut pusaranya sebagai
Pasareane Mbah Dandang.
Sampai sekarang
pusaranya masih sering dikunjungi orang-orang, khususnya masyarakat Jepon untuk
mengadakan kondangan
(hajatan/syukuran) di sana apabila memiliki uni
(hajat/janji). Sampai sekarang pun, orang yang hendak melakukan kondangan di sana dan membawa ambeng (sejenis tumpeng) dari rumah,
tidak pernah bisa membawa ambengnya
sampai ke pusaranya Mbah Dandang. Ambeng tersebut
direbut (diminta) oleh warga yang rumahnya berada di jalan arah menuju
Pasareanne Mbah Dandang. Sementara itu, berkembangnya zaman dan berubahnya
sistem pemerintahan di Indonesia, Jepon yang awalnya berstatus sebagai desa,
berubah menjadi sebuah kecamatan dan kelurahan.
Penulis
: Fitri Andriani (Mahasiswa Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia UNNES 2018,
Rombel 2, NIM 2101418067)
Narasumber : Sukarman (Ketua Rt 01, RW 03, Kel. Jepon, Kec. Jepon, Kab.
Blora)