Cari Blog Ini

Senin, 14 Januari 2019

Legenda Pasareanne Mbah Dandang dan Asal-Usul Nama Jepon, Mitos dari Jepon, Kabupaten Blora, Jawa Tengah



Asal-usul Nama Kelurahan Jepon

Pada masa Kerajaan Pajang, hiduplah seorang raja yang memiliki 3 anak, seorang anak perempuan dan dua orang anak laki-laki. Kedua anak laki-laki raja tersebut memilih pergi dari kerajaan dan tidak ingin melanjutkan ayahnya sebagai seorang raja. Mereka berdua pergi mengembara dengan berjalan kaki.
Di tengah perjalanan, salah satu dari putra raja Pajang tersebut meninggal dunia, tepatnya di Desa Semanggi. Sementara putra raja Pajang yang satunya melanjutkan perjalanannya. Tibalah dia di suatu desa yang ia suka. Sehingga, ia memutuskan untuk menetap dan melanjutkan hidupnya di sana. Di desa yang bernama Desa janjang itu, ia memiliki seorang murid.
Suatu hari, ia mengutus muridnya untuk membeli dandang (panci untuk menanak nasi). Dengan berjalan kaki, pergilah murid tersebut mengikuti kata hatinya, tanpa tahu arah tujuannya. Tiba-tiba di suatu tempat ia menemukan orang-orang sedang berkerumunan. Karena ia penasaran, ia menghampiri kerumunan tersebut. Ternyata kerumunan itu adalah sebuah pasar.
Di pasar tersebut, ia mencari benda yang dipesan oleh Sang Guru. Dia sangat yakin, ia akan sangat mudah menemukan dandang di sana. Sayangnya setelah sekian lama mengelilingi pasar tersebut, ia hanya menemukan njet (batu gamping) dan juga empon-empon (rempah-rempah). Hampir semua pedagang di pasar itu, menjual barang yang sama yaitu enjet atau empon-empon. Sehingga ia pun putus asa dan mengatakan “Nanti, jika di sini sudah banyak pemukiman, desa ini akan disebut Desa Jepon”. Dan hal itu menjadi kenyataan. Beberapa waktu kemudian, banyak orang yang bermukim di daerah tersebut. Kemudian, disebutlah desa itu dengan nama Desa Jepon. Kata “Jepon” itu berasal dari kata enjet dan empon-empon yang digabungkan menjadi satu kata, yaitu ‘Jepon’.
Ketika hendak meinggalkan pasar itu, sang murid menemukan seorang pedagang yang menjual dandang seperti yang diharapkan gurunya. Tanpa pikir panjang, ia membeli dandang tersebut. Karena telah memperoleh apa yang menjadi tujuannya meninggalkan desanya, ia pun pulang. Sayangnya santri tersebut tidak pernah kembali ke gurunya. Hal ini dikarenakan, ia dibegal (dirampok) di sekitar pasar tersebut. Ia pun meinggal di situ. Akhirnya, jasadnya dikuburkan di selatannya pasar, yang sekarang bernama Pasar Rakyat Jepon. Masyarakat menyebut pusaranya sebagai Pasareane Mbah Dandang.
Sampai sekarang pusaranya masih sering dikunjungi orang-orang, khususnya masyarakat Jepon untuk mengadakan kondangan (hajatan/syukuran) di sana apabila memiliki uni (hajat/janji). Sampai sekarang pun, orang yang hendak melakukan kondangan di sana dan membawa ambeng (sejenis tumpeng) dari rumah, tidak pernah bisa membawa ambengnya sampai ke pusaranya Mbah Dandang. Ambeng tersebut direbut (diminta) oleh warga yang rumahnya berada di jalan arah menuju Pasareanne Mbah Dandang. Sementara itu, berkembangnya zaman dan berubahnya sistem pemerintahan di Indonesia, Jepon yang awalnya berstatus sebagai desa, berubah menjadi sebuah kecamatan dan kelurahan.   

Penulis           : Fitri Andriani (Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia  UNNES 2018, Rombel 2, NIM 2101418067)
Narasumber     : Sukarman (Ketua Rt 01, RW 03, Kel. Jepon, Kec. Jepon, Kab. Blora)