KERAJAAN CIREBON
A. LATAR BELAKANG BERDIRINYA
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam
ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan
penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai
utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat,
membuatnya menjadi pelabuhan dan "jembatan" antara kebudayaan Jawa
dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan
Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.
Sejarah
Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah
Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon
pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang
lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban
(Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai
macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang
berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian
masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan
dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan
garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon
inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian
menjadi Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya
alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi
salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan
pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia
lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama
Islam di Jawa Barat.
Perkembangan
Awal
Ki Gedeng
Tapa
Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki
Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang saudagar kaya di pelabuhan Muarajati,
Cirebon. Ia mulai membuka hutan ilalang dan membangun sebuah gubug dan sebuah
tajug (Jalagrahan) pada tanggal 1 Syura 1358 (tahun Jawa) bertepatan dengan
tahun 1445 Masehi. Sejak saat itu, mulailah para pendatang mulai menetap dan
membentuk masyarakat baru di desa Caruban.
Ki Gedeng
Alang-Alang
Kuwu atau kepala desa Caruban yang pertama yang
diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai
Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra
Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak lain
adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat,
Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya
sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana
Pangeran
Cakrabuana
Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera
pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua bernama
SubangLarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Nama kecilnya adalah Raden
Walangsungsang, setelah remaja dikenal dengan nama Kian Santang. Ia mempunyai
dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara Santang/ Syarifah Mudaim dan Raden
Sangara.
Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan
haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena
ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat
itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama
leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu
Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga Nyai Cantring
Manikmayang.
Pendirian
Pendirian kesultanan ini sangat berkaitan erat dengan
keberadaan Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon didirikan pada tahun 1552 oleh
panglima kesultanan Demak, kemudian yang menjadi Sultan Cirebon ini wafat pada
tahun 1570 dan digantikan oleh putranya yang masih sangat muda waktu itu.[2]
Berdasarkan berita dari klenteng Talang dan Semarang, tokoh utama pendiri
Kesultanan Cirebon ini dianggap identik dengan tokoh pendiri Kesultanan Banten
yaitu Sunan Gunung Jati
Sebelum berdirinya kekuasaan politik Islam di bawah
kekuasaan Sunan Gunung Jati wilayah Cirebon dibagi menjadi dua daerah, pesisir
dan pedalaman. Daerah pesisir dipimpin oleh Ki Gendeng Jumajan Jati, sedangkan
wilayah pedalaman dipimpin oleh Ki Gendeng Kasmaya. Keduanya adalah saudara
Prabu Anggalarung dari Galuh. Sunan Gunung Jati kemudian menikah dengan Ratu
Mas Pakungwati dari Cirebon pada tahun 1479 dan pada tahun itu juga di bangun
Istana Pakungwati atau keraton Kasepuhan
Syarif Hidayatullah, beliau memerintah Pakungwati dan
mengembangkan daerah Cirebon menjadi kerajaan dan melepaskan diri dari Kerajaan
Pajajaran.
B. KONDISI SOSIAL MASYARAKAT
Kondisi Sosial Kerajaan Cirebon Perkembangan Cirebon
tidak lepas dari pelabuhan, karena pada mulanya Cirebon memang sebuah bandar
pelabuhan. Maka dari sini tidak mengherankan juga kondisi sosial di Kerajaan
Cirebon juga terdiri dari beberapa golongan. Diantara golongan yang ada antara
lain, golongan raja beserta keluargana, golongan elite, golongan non elite, dan
golongan budak (Sartono Kartodirdjo, 1975:17).
a.
Golongan Raja Para raja/ Sultan
Golongan Raja Para raja/Sultan yang tinggal di kraton
melaksanakan ataupun mengatur pemerintahan dan kekuasaannya. Pada mulanya gelar
raja pada awal perkembangan Islam masih digunakan, tetapi kemudian diganti
dengan gelar Sultan akibat adanya pengaruh Islam. Kecuali gelar Sultan terdapat
juga gelar lain seperti Adipati, Senapati, Susuhunan, dan Panembahan (Kosoh
dkk, 1979:96). Raja atau Sultan sebaai penguasa terinnggi dalam pemerintahan memiliki
hubungan erat dengan pejabat tinggi kerajaan seperti senapati, menteri,
mangkubumi, kadi, dan lain sebagainya. Pertemuan antara raja dengan pejabat
ataupun langsung dengan rakyat tidak dilakukan setiap hari. Kehadiran raja di
muka umum kecuali pada waktu audiensi/pertemuan juga pada waktu acara penobatan
mahkota, pernikahan raja, dan putra raja (Sartono Kartodirdjo, 1975:17).
b. Golongan Elite
Golongan Elite Golongan ini merupakan golongan yang
mempunyai kedudukan di lapisan atas yang terdiri dari golongan para
bangsawan/priyayi, tentara, ulama, dan pedagang. Diantara para bangsawan dan
pengusa tersebut, patih dan syahbandar memiliki kedudukan kedudukan penting. Di
Cirebon, pernah ada orang-orang asing yang dijadikan syahbandar dan mereka
memempati golongan elite. Hal ini dipertimbangkan atas suatu dasar bahwa mereka
memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas tentang perdagangan dan hubungan
internasional. Golongan keagamaan yang terdiri dari ulama juga memiliki
memiliki kedudukan yang tinggi, mereka umumnya berperan sebagai penasehat raja
(Kosoh dkk, 1979:99).
c. Golongan Non Elite
Golongan Non Elite Golongan ini merupakan merupakan
lapisan masyarakat yang besar jumlahnya dan terdiri dari masyarakat kecil yang
bermata pencaharian sebagai petani, pedagang, tukang, nelayan, dan tentara
bawahan dan lapisan masyarakat kecil lainnya. Petani dan pedagang merupakan
tulang punggung perekonomian, dan mereka mempunyai peranan sendiri-sendiri
dalam kehidupan perekonomian secara keseluruhan (Kosoh dkk, 1979:99).
d. Golongan Budak
Golongan Budak Golongan ini terdiri dari orang-orang
yang bekerja keras, menjual tenagai sampai melakukan pekerjaan yang kasar.
Adanya golonga buak tersebut disebabkan karena seseorang yang tidak bias
membayar utang, akibat kalah perang. Golongan budak menempati status sosial
paling rendah, namun mereka juga diperlukan oleh golongan raja maupun bangsawan
untuk melayani keperluan mereka. Mereka dipekerjakan dalam membantu
keperluannya dengan menggunakan fisik yang kuat. Mereka harus taat pula dengan
peraturan yang dibuat oleh majikannya. Namun bagi mereka yang nasibnya baik dan
bisa membuat majikan berkenan maka mereka bisa diangkat sebagai tukang kayu,
juru masak dan lain sebagainya (Kosoh dkk, 1979:100).
C. KONDISI BUDAYA
Kondisi Budaya Kerajaan Cirebon Agama Islam
mengajarkan agar para pemeluknya agar melakukan kegiatan-kegiatan ritualistik.
Yang dimaksud kegiatan ritualistik adalah meliputi berbagai bentuk ibadah
seagaimana yang tersimpun dari rukun Islam. Bagi orang Jawa, hidup ini penuh
dengan riyual/upacara. Secara luwes Islam memberikan warna baru dalam upacara
yang biasanya disebut kenduren atau selamatan (Darori, 1987:130-131).
Membahas masalah budaya, maka tak lepas pula dengan
seni, Cirebon memiliki beberapa tradisi ataupun budaya dan kesenian yang hingga
sampai saat ini masih terus berjalan dan masih terus dlakukan oleh
masyarakatnya. Salah satunya adalah upacara tradisional Maulid Nabi Muhammad
SAW yang tela ada sejak pemerintahan Pangeran Cakrabuana, dan juga Upacara
Pajang Jimat dan lain sebagainya, antara lain :
a.
Upacara Maulid Nabi
Upacara Maulid Nabi Upacara Maulid Nabi dilakukan
setelah beliau wafat,± 700 tahun setelah beliau wafat (P.S. Sulendraningrat,
1978:85) upacara ini dilakukan sebagai rasa hormat dan sebagai peringatan hari
kelahiran kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW. Secara istilah, kata maulud
berasal dari bahasa Arab “Maulid” yang memiliki sebuah arti kelahiran. Upacara
Maulid Nabi di Cirebon telah dilakkan sejak abad ke 15, sejak pemerintahan
Sunan Gunung Jati upacara ini dilakukan dengan besar-besaran. Berbeda dengan
masa pemerintahan Pangeran Cakrabuana yang hanya dilakukan dengan cara
sederhana. Upacara Maulid Nabi di kraton Cirebon diadakan setiap tahun hingga
sekarang yang oleh masyarakat Cirebon bisebut sebagai upacara “IRING-IRINGAN
PANJANG JIMAT” (P.S. Sulendraningrat, 1978:86).
b.
Upacara Pajang Jimat
Upacara Pajang Jimat Salah satu upacara yang dilakukan
di Kerajaan Cirebon adalah Upacara Pajang Jimat. Pajang Jimat memiliki beberapa
pengertian, Pajang yang berarti terus menerus diadakan, yakni setiap tahun, dan
Jimat yang berarti, dipuja-puja (dipundi-pundi/dipusti-pusti) di dalam
memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW (P.S. Sulendraningrat, 1978:87).
Pajang Jimat merupakn sebuah piring besar (berbentuk elips) yang terbuat dari
kuningan. Bagi Cirebon Pajang Jimat memiliki sejarah khusus, yakni benda pusaka
Kraton Cirebon, yang merupakan pemberian Hyang Bango kepada Pangeran Cakrabuana
ketika mencari agama Nabi (Islam). Upacara Pajang Jimat pada Kraton Cirebon
dilakukan pada tanggal 12 Rabiul Awal, setelah Isya’, upacara penurunan Pajang
Jimat dilakukan oleh petugas dan ahli agama di lingkungan kraton. Turunnya
Pajang Jimat dimulai dari ruang Kaputren naik ke Prabayaksa dam selanjutnya
diterima oleh petugas khusus yang telah diatur.
c.
Seni Bangunan dan Seni Ukir
Seni Bangunan dan Seni Ukir Seni bangunan dan seni
ukir yang berkembang di kerajaan Cirebon tak lepas dari perkembngan seni pada
zaman sebelumnya. Ukiran-ukiran yang ada pada kraton banyak menunjukkan pola
zaman sebelumnya. Ukiran yang menunjukkan sifat khas pada Cirebon adalah ukiran
pola awan yang digambarkan pada batu karang. Penggunaan seni bangunan masjid
tampak asli pada penggunaan lengkungan pada ambang-ambang pintu masjid. Demikian
pula dengan makam-makam yang strukturnya mengikuti zaman sebelumnya. Yakni
berbentuk bertingkat dan ditempatkan di atas bukit-bukit menyerupai meru (Kosoh
dkk, 1979:100).
d.
Kasusasteraan
Seni Kasusasteraan Diantara seni bangunan dan seni
tari, terdapat juga seni kasusasteraan yang berkembang. Diantarnya adalah seni
tari, seni suara, dan drama yang mengandung unsur-unsur Islam. Seni
kasusasteran yang berkembang ini juga tak lepas dari zaman sebelumnya. Misalnya
saja seni tari, yang diantaranya yang berkembang adalah seni ogel namun
mengandung unsur-unsur Islam (Kosoh dkk, 1979:100).
D. KONDISI EKONOMI
Sebagai sebuah kesultanan yang terletak diwilayah
pesisir pulau Jawa, Cirebon mengandalkan perekonomiannya pada perdangangan
jalur laut. Dimana terletak Bandar-bandar dagang yang berfungsi sebagai tempat
singgah para pedagang dari luar Cirebon. Juga memiliki fungsi sebagai tempat
jual beli barang dagangan. Dari artikel yang ditulis oleh Uka Tjandrasasmita,
yang dibukukan dalam sebuah buku kumpulan artikel oleh Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan RI Jakarta. Dituliskan sebuah artikel yang berjudul “Bandar
Cirebon dalam Jaringan Pasar Dunia”, dalam artikelnya terbagi menjadi 3
periode, yaitu: Bandar Cirebon masa pra-islam, Bandar Cirebon masa pertumbuhan
dan perkembangan kerajaan islam, dan masa pengaruh kolonial.
Pada masa
pra-islam Cirebon masih dalam kekuasaan kerajaan Sunda Pajajaran. Pada masa ini
pula terdapat Bandar dagang yang berada di Dukuh Pasambangan dengan bandar
Muhara Jati. Kapal-kapal yang berlabuh di bandar Muhara Jati antara lain
berasal dari Cina, Arab, Tumasik, Paseh, Jawa Timur, Madura, dan Palembang
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:56).
Dikatakan bahwa sebelum Tome Pires (1513) Cirebon masih berkeyakinan
Hindu-Buddha. Pada saat ini Ciebon masih dibawah kekuasaan kerajaan Sunda
Pajajaran. Menurut cerita tradisi Cirebon mulai memeluk agama islam sekitar
tahun 1337 M yang dibawa oleh Haji Purba. Pada abad 14 M perdagangan dan
pelayaran sudah banyak dilakukan oleh orang muslim.
Dari cerita Purwaka Caruban Nagari diperoleh informasi
bahwa terjadi perpindahan Bandar perdagangan. Bandar dagang yang dahulunya
terlertak pada Bandar Muhara Jati di dukuh Pasambangan dipindah kearah selatan
yaitu ke Caruban. Alasan mengapa Bandar dagang dipindahkan, menurut cerita
Bandar dagang di Muhara jati mulai berkurang keramaiaannya. Caruban sendiri
dibangun o0leh Walangsungsangatau Ki Samadullah atau Cakrabumi sebagai kuwu dan
seterusnya. Sejak Syarif Hidayatullah, Bandar-bandar di Cirebon makin ramai dan
makin baik untuk berhubungan dengan Parsi-Mesir, Arab, Cina, Campa, dan lainnya
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:56).
Dengan kedatangan Belanda keadaan ekonomi di Cirebon
dikuasai penuh oleh VOC. Dengan diadakannya perjanjian antara Belanda dengan
Cirebon 30 April 1981, Cirebon selalu akan memelihara kepercayaan terhadap
Belanda. Akan tetapi, seluruh komoditi perdagangan di Cirebon, dikuasai
Belanda, hal ini hanya akan menguntungkan pihak Belanda dan merugikan Cirebon.
Belanda menerapkan monopoli perdagangan dan pertanian, salah satu contohnya
yaitu kebijakan menanam 10 pohon kopi tiap kepala keluarga di Priangan Timur.
Dari gambaran diatas kita kenali bahwa pihak
kesultanan sendiri dalam menjalankan perekonomian terutama terhadap
komoditi-komoditi ekspor kurang, peranannya lebih banyak ditangan Belanda. Hal
itu semuanya jelas dampak negative pengaruh kolonialisme Belanda sejak
perjanjian tahun 1981 dan seterusnya. Dengan perjanjian-perjanjian tersebut
Belanda sejak Kompeni menginginkan penguasaan atas daerah subur produksi kopi
dan lainnya dapat terlaksana, disamping rasa ketakutannya terhadap penguasaan
daerah Priangan Timur itu dikuasai oleh Banten dan juga Mataram (Departemen
Pendiidikan dan Kebudayaan, 1997:67).
Dapat dilihat pula keadaan perekonomian dari sumber
lainnya. Selain perdagangan dan pelayaran. Perekonomian Cirebon juga ditunjang
oleh kegiatan masyarakatnya yang menjadi nelayan. Cirebon juga dikenal sebagai
kota udang, artinya Cirebon juga memiliki satu komoditi dagang utama yaitu terasi,
petis dan juga garam.
Dalam kehidupan ekonomi juga masih ada peran dari
orang asing. Orang asing tersebut menjadi syahbandar atau yang mengantur
tentang ekspor impor perdagangan. Cirebon yang menjadi syahbandarnya yaitu
orang-orang Belanda. Alasan mengapa syahbandar diambil dari orang-orang asing,
karena orang-orang asing dianggap lebih mengetahui tentang cara-cara
perdagangan. Di kota Cirebon juga terdapat pasa tertua yaitu pasar yang
terletak di timur laut alun-alun kraton Kasepuhan dan lainnya di sebelah utara
alun-alun kanoman.
E. KONDISI POLITIK
Perkembangan politik yang terjadi pada Cirebon berawal
dari hubungan politiknya dengan Demak. Hal inilah yang menyebabkan perkembangan
Cirebon. Dikatakan oleh Tome Pires yang menjadi Dipati Cirebon adalah seorang
yang berasal dari Gresik. Kosoh, dkk (1979:94) Babad Cirebon menceritakan
tentang adanya kekuasaan kekuasaan Cakrabuana atau Haji Abdullah yang
menyebarkan agama islam di kota tersebut
sehingga upeti berupa terasi ke pusat Pajajaran lambat laun dihentikan. Selain
hubungannya dengan Demak, kehidupan politik pada kala itu juga dipengaruhi oleh
beberapa konflik. Konflik yang terjadi ada konflik internal dan menjadi vassal VOC. Pertama yang terjadi,
dimulai dari keputusan Syarif Hidayatullah yang resmi melepaskan diri dari
kerajaan Sunda tahun 1482. Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1570, dan
kepemimpinannya digantikan oleh anaknya yaitu Pangeran Ratu atau Panembahan
Ratu. Pada masa kepemerintahannya, Panembahan Ratu menyaksikan berdirinya karajaan
Mataram dan datangnya VOC di Batavia.
Panembahan Ratu cenderung berperan sebagai ulama dari
pada sebagai raja. Sementara di bidang politik, Panembahan Ratu menjaga
hubungan baik dengan Banten dan Mataram .Setelah wafat pada tahun 1650, dalam
usia 102 tahun, Panembahan Ratu digantikan oleh cucunya, yaitu Pangeran Karim
yang dikenal dengan nama Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II karena
anaknya Pangeran Seda Ing Gayam telah wafat terlebih dahulu.
Ketika terjadi pemberontakan Trunojoyo, Panembahan Senapati
dijemput oleh utusan dari kesultanan Banten ke Kediri. Dalam perjalanan kondisi
Senapati yang sakit-sakitan menyebabkan dia meninggal dunia dan akhirnya
dimakamkan di bukit Giriliya. Sedangkan kedua anaknya dibawa ke Banten, yaitu:
Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya. Namun, kemudian mereka
dikembalikan ke Cirebon, disana mereka membagi tiga kekuasaan.
Ketiga penguasa Cirebon ini berusaha untuk menjadikan
diri sebagai penguasa tunggal. Sultan Sepuh merasa bahwa ia yang berhak atas
kekuasaan tunggal karena ia anak tertua. Sementara Sultan Anom, juga
berkeinginan yang sama sehingga ia mencoba mencari dukungan kepada Sultan
Banten. Di lain pihak, Pangeran Wangsakerta , yang menjadi pengurus kerajaan
saat kedua kakaknya dibawa ke Mataram, merasa berhak juga menjadi penguasa
tunggal. Sultan Sepuh mencoba mendapat dukungan VOC dengan menawarkan diri
menjadi vassal VOC. VOC sendiri tidak pernah mengakui gelar sultan pemberian
Sultan Banten dan selalu menyebut mereka panembahan.
Dengan surat perjanjian tanggal 7 Januari 1681,
Cirebon resmi menjadi vassal VOC. Jadilah, urusan perdagangan diserahkan kepada
VOC, berbagai keputusan terkait Cirebon (termasuk pergantian sultan, penentuan
jumlah prajurit) harus sepersetujuan VOC di Batavia, ketika para Sultan akan
bepergian harus atas ijin VOC dan naik kapal mereka, dalam berbagai yupacara,
pejabat VOC harus duduk sejajar dengan para Sultan (Nina: online). Setelah
kedatangan Belanda ke Cirebon membuat banyak
perubahan, khususnya di bidang politik. Pada tahun 1696, Sultan Anom II
atas kehendak VOC menjadi Sultan. Pada Tahun 1768 kesultanan Cirebon dibuang ke
Maluku.
Situasi politik Cirebon yang sudah terkotak-kotak itu,
memang tidak bisa dihindarkan. Namun ada hal yang menarik, bahwa seorang
keturunan Sunan Gunung Jati, yaitu Pangeran Aria Cirebon, tampak berusaha
langsung atau tidak langsung untuk menunjukkan soliditas Cirebon, sebagai suatu
dinasti yang lahir dari seorang Pandita Ratu. Pertama, ketika ia diangkat
sebagai opzigther dan Bupati VOC untuk Wilayah Priangan dan kedua , ia menulis
naskah Carita Purwaka Caruban Nagari
SILSILAH PARA SULTAN KANOMAN
1. Sunan Gunung Jati Syech Hidayahtullah
2. Panembahan Pasarean Muhammad Tajul Arifin
3. Panembahan Sedang Kemuning
4. Panembahan Ratu Cirebon
5. Panembahan Mande Gayem
6. Panembahan Girilaya
7. Para Sultan :
1. Sultan Kanoman I (Sultan Badridin)
2. Sultan Kanoman II ( Sultan Muhamamad Chadirudin)
3. Sultan Kanoman III (Sultan Muhamamad Alimudin)
4. Sultan Kanoman IV (Sultan Muhamamad Chadirudin)
5. Sultan Kanoman V (Sultan Muhamamad Imammudin)
6. Sultan Kanoman VI (Sultan Muhamamad Kamaroedin I)
7. Sultan Kanoman VII (Sultan Muhamamad Kamaroedin )
8. Sultan Kanoman VIII (Sultan Muhamamad Dulkarnaen)
9. Sultan Kanoman IX (Sultan Muhamamad Nurbuat)
10. Sultan Kanoman X (Sultan Muhamamad Nurus)
11. Sultan Kanoman XI (Sultan Muhamamad Jalalludin)
Sumber Sejarah Kesultanan Cirebon
a.
Babad Cirebon,
yaitu Karya sastra sejarah yang ditulis pada abad ke-19 di Cirebon. Babad
Cirebon menceritakan tentang perkembangan Kesultanan Cirebon pada awal waktu
penjajahan Belanda di Pulau Jawa. Sebagian besar isi dari babad ini
menceritakan tentang Sunan Gunung Jati selaku penyebar agama Islam di Jawa
Barat yang juga memberikan kejayaan di Kesultanan Cirebon. Babad Cirebon
ditulis menggunakan huruf Arab dan bahasa Jawa Cirebon.
b.
Carita Caruban
Purwaka Nagari karya Pangeran Dipati Carbon yang ditulis pada tahun 1702
masehi. Naskah ini terdiri dari 39 bagian yang menceritakan perkembangan
Cirebon, perjalanan hidup para petinggi kerajaan beserta keluarganya, dan juga
menceritakan silsilah keluarga kerajaan
c.
Catatan Tom Pires
yang mengujungi Cirebon pada tahun 1513 yang berjudul Suma Oriental. Pires
memberikan informasi mengenai keadaan ekonomi dan politik di Jawa pada masa
paruh pertama abad ke-16. Ia menyebut lima pelabuhan utama Kerajaan Sunda,
adanya pelabuhan di Cirebon, dan pengaruh Demak terhadap wilayah barat Pulau
Jawa.
E. RUNTUHNYA KESULTANAN
CIREBON
Keruntuhan Kesultanan Cirebon dimulai ketika
kesultanan ini dibagi menjadi dua kekuasaan, yakni kesultanan Kasepuhan dan
kesultanan Kanoman. Perselisihan antara kedua kesultanan dan adanya campur
tangan politik VOC Belanda yang saat itu menduduki Indonesia membuat Cirebon
runtuh secara perlahan.
Tahun 1700, kesultanan menjadi empat kekusaan. Selain
Kasepuhan dan Kanoman, terdapat juga kesultanan Kacirebonan di bawah Pangeran
Arya Cirebon, dan Kaprabonan (Panembahan) di bawah Pangeran Wangsakerta. Sejak
itu perdagangan internasional melalui pelabuhan Cirebon sudah berada di tangan
VOC.
Sejak awal
abad ke-18, Kesultanan Cirebon, baik di bidang politik maupun
ekonomi-perdagangan, mengalami kemunduran karena dikendalikan VOC yang
berlanjut hingga pemerintahan kolonial Hindia-Belanda sejak abad ke-19 dan masa
pendudukan Jepang tahun 1942, di mana sultan-sultan mendapat gaji dari
pemerintah kolonial pada masanya.
F. CIREBON SEKARANG
Setelah Indonesia merdeka, Kesultanan Cirebon tidak
benar-benar hilang. Tetapi menjadi bagian dari Indonesia, yakni menjadi Kota
Cirebon dan kabupaten Cirebon.
Saat ini, Cirebon tidak lagi melaksanakan Kesultanan/
Kerajaannya walau banyak Keraton/ Masjid yang didirikan pada masa Kesultanan
Cirebon. Akan tetapi, hingga saat ini Keraton/ Masjid tersebut masih digunakan
untuk upacara adat.